Lari, pikir Florence lelah.
Dia terus berlari melewati trotoar-trotoar bersalut salju, dengan rok panjang berbahan katun-wol menampar-nampar tumitnya, juga scarf lebar bermotif aster transparan yang berulang kali merosot dari bahunya. Rambut pirang keperakannya menyentuh punggung, berkibar di tengah serpih salju, seperti tirai sutra.
Dia terengah ketika akhirnya berhenti. Tangan kirinya bertumpu pada tiang, dan tangan satu lagi memegang lutut. Sesekali, dia menoleh ke belakangrumahnya sudah tidak kelihatan. Namun, dia tetap takut orangtuanya akan muncul tiba-tiba dan terus memaksanya berkencan dengan pria yang bahkan tidak ia kenal.
Apakah Maman dan Papa mengira berkencan itu
semudah makan croissant...? pikirnya.
Dia bersandar pada tiang, memandang Kota Paris yang berjalan normal seperti biasa. Mengapa orangorang terlihat seperti tidak punya masalah, sementara dia harus melarikan diri seperti buronan?
“Kau bilang sendiri kau ingin bahagia.” Perkataan Madame Leroy, ibunya, sekonyong-konyong muncul di benaknya.
“Aku tidak pernah bilang kalau defmisi ‘bahagia’ berarti berkencan dengan seseorang yang bahkan
EmoticonEmoticon