Blog Internet dan Kreatifitas Menulis Siswa

Blog Internet dan Kreatifitas Menulis Siswa

February 16, 2010 Add Comment
Blog Internet dan Kreatifitas Menulis Siswa
Dion Eprijum Ginanto, S.Pd *

Tak dapat dipungikri bahwa kemajuan teknologi dan informasi telah menjadi suatu yang harus dihadapi dan disiasati agar seluruh generasi bangsa dapat bertahan dan mengikuti perkembangan jaman. Karena kunci dari kemajuan bangsa adalah terletak pada penguasaan teknologi dan informasi. Sekaya apapun suatu negara namun mereka tidak memahami teknologi dan inforamsi maka negara tersebut tak akan bertahan lama dan lambat laun akan terlindas oleh jaman.
Pemerintah Indonesia mulai membenahi sistem pendidikan; di antaranya dengan mewajibkan Mata pelajaran Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) untuk dapat dipelajari mulai dari bangku SLTP. Hal ini sesuai dengan Peraturan Menteri (Permen) nomor 22 tahun 2006 tentang Standar isi untuk satuan Pendidikan Dasar dan Menengah yang mendukung program KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan) yang diberlakukan di sekolah. Standar Kompetensi Lulusan (SKL) mata pelajaran TIK di KTSP pada tingkat SMP adalah siswa diharapkan mampu memahami penggunaan TIK dan prospeknya di masa datang, menguasai dasar-dasar keterampilan komputer, menggunakan perangkat pengolah kata dan pengolah angka untuk menghasilkan dokumen sederhana, memahami prinsip dasar internet/intranet dan menggunakannya untuk memperoleh informasi. Salah satu materi yang diberikan pada pelajaran TIK adalah internet.
Dengan penguasaan internet sejak berada di bangku sekolah, akan membiasakan siswa untuk selalu mengupdate data dan informasi dari belahan dunia dengan efekitif dan terkini. Kemajuan teknologi pasti membawa dampak positif dan negatif, namun demikian banyak sekali segi positif yang dapat diambil dari penguasaan internet. Di antaranya adalah kita dapat dengan mudah dan cepat mengakses dan mengup-load (menerbitkan/menyampaikan) informasi. Untuk dapat mengakses dan mendownload informasi itu dapat dilakukan dengan menggunakan fasilitas search engine seperti google, yahoo, altavista, apple, dll, hal ini biasa dilakukan. Namun kita juga harus menguasai cara mengupload hasil karya kita sendiri agar bisa dinikmati dan dikomentari oleh seluruh masyarakat dunia. Salah satu cara yang mudah dan gratis dalam menerbitkan hasil karya kita (tulisan, ulasan, opini, cerita, dll) di internet adalah dengan menggunakan blog.

Apa itu Blog

Wijaya (2008) memberikan pengertian bahwa blog adalah tempat di mana kita dapat menciptakan, memberikan informasi dan berkomunikasi antar sesama kita di seluruh dunia. Blog adalah situs web yang mudah digunakan, di mana kita dapat dengan cepat memposting pemikiran kita sendiri, berinteraksi dengan orang lain, dan banyak lagi.
Blog merupakan fasilitas yang dapat dimanfaatkan seseorang yang kreatif dan inovatif dalam memanfaatkan teknologi informasi dengan tujuan untuk memberikan informasi, komentar dan saran pada semua pengguna blog di seluruh dunia. Kemajuan terknologi seperti saat ini membawa dampak sangat positif karena kita dapat menerbitkan tulisan sendiri secara gratis melalui dunia maya dan tentunya akan dapat diakses oleh khalayak umum. Blog dapat dijadikan sebagai sarana latihan agar dapat mebiasakan diri menulis sehingga kelak dapat memberikan motivasi kita untuk menerbitkan hasil karya dalam bentuk yang lebih besar seperti artikel koran, jurnal dan bahkan buku. Atau mungkin blog dapat dijadikan sebagai pelampiasan bagi kita yang sering menulis dan dikirim ke koran atau pada penerbit namun selalu ditolak, maka blog adalah bentuk pelampiasan yang paling tepat. Karena mungkin saja ada penerbit yang dengan tidak sengaja membaca tulisan kita di internet dan kemudian tertarik sehingga pada akhirnya tulisan kita diterbitkan.
Blog merupakan sarana ampuh untuk dapat merangsang minat menlis siswa. Fenomena pendidikan selama ini adalah bahwa siswa dibiasakan untuk memperoleh informasi, dihafal/dipahamai dan kemudian akan muncul di ujian. Pendekatan pembelajaran seperti ini akan menimbulkan siswa cenderung pasif dan akan selalu menjadi penunggu akan ilmu dan informasi. Pendekatan seperti ini lazim disebut Teacher Centered. Paradigma pendidikan selama ini harus dapat diubah untuk bukan hanya membuat siswa sebagai pemeroleh ilmu/informasi namun lebih kepada untuk dapat membuat informasi dan tambahan ilmu untuk kemudian diterbitkan dan diberikan kepada khalayak ramai. Tidak heran jika mental bangsa Indonesia saat ini adalah mental peniru bukan mental inovatif produktif. Salah satu cara untuk memotivasi siswa untuk menciptakan ranah ilmu baru adalah dengan menulis, karena dengan menulis kita dapat merekam hasil karya kita yang luar biasa untuk dapat dibaca oleh orang lain.

Meningkatkan Budaya Menulis

Semboyan kita selama ini adalah ”Membaca Membuka Jendela Dunia”. Semboyan ini sangat positif dan dapat memotivasi siswa untuk membaca. Tapi sadarkah kita apabila yang dibangkitkan dari otak kita adalah menerima saja maka tak kan ada mental kita untuk membuat tulisan untuk dibaca orang. Sehingga buku yang kita baca kebanyakan berasal dari luar negeri atau hasil pemikiran orang lain yang sudah terlebih dahulu membudayakan budaya menulis bukan hanya sekedar budaya membaca. Terbayangkah kita suatu saat nanti tidak akan ada lagi buku, karena tak ada lagi orang yang mempunyai mental untuk menulis, karena mereka hanya mempunyai mental membaca.
Fakta yang terjadi di sekolah saat ini adalah:
1. Ada Majalah dinding (Mading) tapi tidak pernah diisi oleh tulisan siswa, kalaupun terisi itu didapat dari klipping hasil tulisan orang lain. Yang lebih ironis mading tidak pernah disentuh dan dikelola oleh siswa.
2. Pihak sekolah memfasilitasi untuk membuat majalah/tabloid sekolah, namun hanya bertahan paling lama satu bulan, karena kekurangan siswa kreatif untuk mengeloala dan mengisi tulisan dalam majalah.
3. Siswa sangat pintar memberiakan komentar secara lisan, namun akan sangat kesulitan dan sangat membenci pelajaran mengarang/menulis.
4. Kolom artikel yang disediakan koran/majalah untuk disisi oleh siswa hanya mampu dimanfaatkan oleh segelintir siswa dan hanya siswa itu-itu saja.
5. Masih banyak fakta-fakta di sekolah yang intinya adalah siswa belum termotivasi untuk menulis.
Tentu timbul pertanyaan ada apa dengan pendidiakan selama ini. Apakah guru yang salah, kepala sekolah yang kurang tegaskah, mentri pendidikan yang kurang cekatankah atau siswa yang malas? Dr. Wina Sanjaya dalam Wijaya (2008) menuliskan dalam bukunya bahwa, masalah yang dihadapi dunia pendidikan kita saat ini adalah masalah lemahnya proses pembelajaran. Dalam proses pembelajaran, peserta didik kurang didorong untuk mengembangkan kemampuan berpikir. Proses pembelajaran di kelas hanya diarahkan kepada proses kemampuan anak menghafal informasi; otak anak dipaksa untuk mengingat dan menimbun berbagai informasi tanpa dituntut untuk memahami informasi yang diingatnya itu untuk menghubungkannya dengan kehidupannya sehar-hari. Akibatnya ketika mereka lulus, mereka pintar secara teoritis, akan tetapi miskin aplikasi.
Oleh karena itu diperlukan inovasi baru dalam memotivasi siswa dalam menulis. Salah satu cara yang dirasa efektif di era globalisasi saat ini adalah dengan menggunakan Blog. Adapun keuntungan menulis di blog sendiri adalah sebgai berikut:
a. Murah
Menulis dan dapat dibaca oleh orang diseluruh dunia akan membutuhkan banyak uang apabila harus diterbitan menjadi buku atau di terbitkan di website resmi. Namun dengan membuat blog yang gratis, kita hanya butuh biaya sekitar 3000 rupiah (biaya rental internet satu jam) untuk memposting tulisan. Hal ini tentunya tidak begitu memberatkan siswa.
b. Cepat
Proses pembuatan blog juga terbilang sangat mudah, lebih mudah dari sekedar membuat e_mail. Kita tinggal klik www.blogspot.com atau multiply.com atau sarana blog yang lain (bisa juga minta bantuan google untuk mencari blog gratis) kemudian kita membuat account kita sendiri, proses ini hanya memakan waktu kurang dari satu jam. Apabila kita sudah berhasil membuat blog, langkah selanjutnya tinggal memasukkan tulisan yang tentunya bisa di up date setiap hari.
c. Efisien karena dapat dibaca oleh masyarakat dunia
Dengan membuat tulisan di blog, maka setiap orang bisa mengkases tulisan kita tanpa harus bersusah payah. Tentunya hal ini sangat efisien bila dibandingkan dengan sarana yang lain.


d. Merangsang siswa untuk terus terpacu menguasai teknologi
Sekali siswa berhasil memposting tulisan di blog, maka ada kepuasan yang luar biasa pada diri siswa. Apalagi jika tulisan itu mendapat komentar dari orang yang tidak dikenalnya, maka ia akan terus terangsang untuk memperbaiki tulisannya dan tentunya terangsang untuk terus memperbaiki kulitas blog yang notabebene sebagai hasil dari teknologi.

Kondisi siswa di Kota Jambi

Tentu timbul pertanyaan apakah mungkin siswa diajarkan blog sedangkan di sekolah tidak ada fasilitas internet. Fasilitas internet bukanlah kendala namun bisa dijadikan peluang. Karena saat ini untuk menghubungkan komputer dengan internet semakin mudah; dengan jaringan telephone, broad band/wireless/modem, Hand Phone dengan segala kartu (Indosat, Telkomsel, XL, dll ), Speedy. Semua itu dapat diakses dengan harga yang relatif murah. Bisa saja kepala sekolah mengususlkan kepada pemerintah daerah untuk memberikan fasilitas HOT SPOT di sekolah atau fasilitas internet, karena pelajaran TIK (yang didalamnya ada materi penguasaan internet) merupakan mata pelajaran wajib sehingga pemerintah harus mendukungnya. Apabila belum bisa, cukup adakan lomba membuat blog yang didalamanya ada artikel, dengan hadiah yang besar maka pasti siswa akan termotivasi untuk membuat blog (tentunya harus diajari terlebih dahulu cara membuat blog). Karena fakta saat ini adalah mayoritas siswa di Kota jambi (SMP-SMA) sudah mengenal dan mampu mengaplikasian internet.
Semoga tulisan ini bukan hanya sekedar impian saya belaka, namun dapat dijadikan sebagai bahan masukan untuk guru TIK, siswa, kepala sekolah dan pihak lain agar ke depan siswa di Jambi mampu bersaing dengan siswa propinsi lain dalam hal teknologi dan budaya menulisnya. Tidak menutup kemungkinan akan lahir blogger-blogger muda Jambi yang mampu menuangkan tulisannya untuk dapat diakses oleh orang banyak seluruh Indonesia dan bahkan dunia. Amin.

* Adalah Staf Pengajar di SDIT AL-AZHAR sekarang tengah Mengambil Prgram Master di University Putra Malaysia (UPM)
KETIKA GURU TAK LAGI MEMPUNYAI WIBAWA

KETIKA GURU TAK LAGI MEMPUNYAI WIBAWA

February 16, 2010 Add Comment
KETIKA GURU TAK LAGI MEMPUNYAI WIBAWA
DI HADAPAN SISWA DAN ORANG TUA


Guru adalah sosok pahlawan yang jasanya tiada tara. Mereka adalah pejuang dengan bersenjatakan pena, yang mampu mengubah batu menjadi batu mulia. Perjuangan mereka tulus, bak sinar mentari yang menyinari bumi. Perilakunya dapat ditiru dan perkataanya selalu digugu.
Tapi sayangnya, itu semua hanya tinggal kenangan. Fenomena guru yang mempunyai wibawa dan karisma itu, kini mulai menurun dan sedikit demi sedikit memudar. Hal ini dipengaruhi dengan semakin rendahnya moral peserta didik akibat maraknya infotainment dan interaksi sosial yang semakin negative.
Saat ini guru berada pada fase dilematis. Mereka tidak lagi boleh menggunakan cara tegas untuk mendidik. Dahulu ketika ada murid melanggar peraturan sekolah dan etika moral, mereka dihukum berdiri di depan kelas sambil dijewer telinganya: tidak ada satupun orang tua yang protes. Namun Sekarang ketika ada guru yang menjewer murid karena berkata kotor, maka dengan semangat sang orang tua mengadukan ke kantor polisi dengan dalih guru melakukan penyiksaan atau kekerasan terhadap anak.
Hal ini bukan berarti penulis membenarkan tindakan hukuman jewer/cubit kepada murid. Namun lebih lepada rendahnya kepercayaan orang tua lepada sekolah. Selain itu degradasi moral anak bangsa juga disebabkan bebasnya tayangan infotainment yang menjadi trend setter cara bergaul mereka, maka kini murid tak lagi menghargai gurunya.
Kondisi yang terjadi Sekarang adalah: bahwa murid tak lagi segan untuk berkata kepada gurunya: “Bapak/Ibu ne sekiwit…”, “Aih…. Bapak nih….” Tanpa ada rasa bahwa yang mereka katakan adalah pernyataan yang dapat menyinggung guru. Mayoritas guru pasti sudah pernah mengalami ketika murid permisi mereka mengatakan “Pak/buk saya mau kencing.” Padahal dahulu kata-kata kencing tidak boleh diucapkan di hadapan guru. Sekarang?
Kondisi real yang terjadi sekarang adalah, ketika guru berhasil mendidik anak muridnya menjadi sukses, guru tidak pernah disebut atau diingat sebagai orang yang berjasa. Namun ketika guru melakukan kesalahan dalam bentuk kekerasan dll, dengan sigap orang tua murid melaporkannya ke kantor polisi.
Berikut adalah kisah-kisah nyata tragis yang menimpa pada guru. Kisah ini di kutip dari salah satu majalah Islam:
Kisah 1
”Sebut saja namanya Kahdijah (bukan nama asli), maksud hati ingin memberi defek jera kepada murid yang berkali-kali tidak mengerjakan PR dengan cara menjewer. Tapi, jeweran itu malah membuahkan tuntutan yang tidak mengenakkan. Guru SD tersebut dituntut wali murid untuk membayar ganti rugi sebagai balasannya. Khadijah tentu saja panik. Apalagi ada ancaman dari orangtua murid untuk membeberkan masalah ke media, bahkan akan berlanjut ke kepolisisan. Ibu guru tersebut sempat kelimpungan untuk mendapatkan uang senilai Rp. 5 juta. Namun karena mendapat pembelaan dari rekan seprofesinya, tuntutan itu masih mengambang.”
Kisah 2
”Ibu Siti (bukan nama asli) Guru SD N Depok kelas IV. Ia pernah didatangi wali murid dan dua orang preman bertubuh tinggi besar. Gara-gara tidak menaikkan kelas anak didiknya. Ibi Siti bahkan sempat diancam wali murid akan dilaporkan ke diknas sampai wartawan setempat, jika guru itu tak menaikkan anaknya.kejadian itu bukan hanya sekali, ia sering mendapatkan teror dan ancaman dari preman yang sengaja dibawa oleh orang tua demi kenaikan kelas anaknya. Setelah melaporkan ke kepala sekolah, rupanya wali murid belum juga berhenti untuk menteror sang guru bahkan sang wali murid berani mendatangi sekolah untuk memberikan ancaman. Akhirnya karena tidak tahan dengan ancaman bertubi-tubi dan takut akan andanya efek negatif menimpa guru dan sekolahnya maka dengan terpakasa sang kepala sekolah mengeluarkan keputusan untuk menaikkan sang murid dengan cara naik terbang. Artinya sang murid bisa naik kelas asalkan pindah sekolah. Inilah bentuk ancaman dan teror kepada guru, ini membuktikan guru tak lagi dihargai oleh masyarakat.”
Kedua kisah ini adalah sebagian kisah dari ribuan bahkan mungkin lebih kasus teror dan ancaman kepada guru di Indonesia. Ancaman ini bukan hanya dari orang tua murid saja, namun mereka melibatkan LSM, preman dan bahkan wartawan dan yang lebih parah lagi sampai ke KOMNAS PERLINDUNGAN ANAK.
Lahirnya Komnas Perlindungan Anak di Indonesia memang dirasa bermanfaat; namun di sisi lain Komnas dan UU perlindungan anak dijadikan alasan untuk dapat benar-benar memproteksi anak yang sebenarnya tidak perlu mendapat proteksi berlebihan. Padahal produk pendidikan 10-20 tahun yang lalu, dengan metode pendidikan klasik/tradisional, murid mempunyai tata krama dan sopan santun serta disiplin yang tinggi. Guru mempunyai wibawa yang tinggi sebagai pendidik, namun kondisi saat ini telah berubah 180 %.
Mendidik seorang anak tidak selamanya harus dengan kelembutan. Karena karakter anak didik berbeda satu sama lain. Dalam hal ini ada satu majalah Islam yang memberikan contoh/logika: Dalam memegang burung jika terlalu keras burung itu akan mati, sementara jika terlalu lembut burung tersebut akan terbang. Perlu adanya pengamatan yang jeli terhadap siswa secara akurat dan kapan waktu yang tepat untuk memberaikan hukuman pada anak. Logika lain adalah mendidik anak mirip seperti seorang penggembala bebek/itik, ketika sang itik tidak mau berjalan pada jalan yang sudah diarahkan maka sang penggembala biasanya akan menggunakan kayu untuk mengarahkan sang itik.
Namun ternyata cara tradisional yang biasaya diterpakan beberapa puluh tahun yang lalu membuahkan efek negatif bagi orang tua. Ada beberapa alasan kenapa kepercayaan orang tua terhadap guru di sekolah menurun drastis kepada guru atau sekolah.
1. Wali Murid Terlalu Over Protektif Kepada Anak
Ada dua tipe orang tua dalam memberikan kepercayaan anak murid kepada guru/sekolah. Tipe pertama adalah orang tua yang mempercayakan sepenuhnya pendidikan anaknya kepada sekolah. Tipe orang tua ini mendukung apapun yang dilakukan guru atau sekolah agar anakanya berhasil. Meskipun anaknya mendapatkan hukuman dari guru, mereka tetap mendukung dan tidak menaruh curiga kepada guru maupuan sekolah. Tipe yang kedua adalah tipe orang tua yang terlalu over proteksi kepada anaknya. Mereka selalu memantau perkembangan anaknya disekolah dan bahkan sampai detail yang dilakukan guru terhadap anaknya dipantau dari rumah. Tipe ini tidak akan segan-segan memprotes dan memarahi guru ketika guru tidak berhasil mendidik putra-putrinya. Dan ketika sang anak melaporkan bahwa ia mendapat hukuman dari guru karena murni kesalahan murid, maka ia akan serta merta melabrak guru yang bersangkutan bahkan berani membawanya ke meja hijau. Tipe orang tua yang ketiga adalah yang menempatkan diri di antara kedua tipe orang tua di atas.
Tipe orang tua yang terlalu protektif ini di satu sisi dapat memberikan kontrol kepada guru. Namun di sisi lain akan berdampak atau berkesan terlalu mencampuri urusan dan metode sekolah dalam mendidik anaknya. Bahkan ada pendapat bahwa orang tua yang seperti ini akan lebih baik apabila memberikan pendidikan pada anaknya dengan cara HOME SCHOOLING, suatu program pendidikan yang mendidik anaknya di rumah dengan cara mengundang guru pilihan untuk mengajar di rumahnya. Home Schooling selain dapat menghindarkan dari hukuman guru juga dapat menghindarkan pengaruh negatif dari teman-teman yang bisa di dapat di sekolah umum.
2. Kurangnya Pemahaman sebagaian Guru terhadap Metode Pengajaran dan Pendidikan
Ada sebagian guru yang belum dapat memahami jiwa dan psikologis anak. Sehingga ketika anak melanggar peraturan maka ia tidak dapat mengontrol emosinya. Hal ini dipenguruhi karena banyak guru yang sebenarnya bukan berasal dari Sarjana Pendidikan, banyak sekali guru-guru lulusan pertanian, perikanan, teknik, ilmu terapan, dan ilmu-ilmu lain, yang sebenarnya tidak memahami konteks pembelajaran terpakasa harus bekerja sebagai GURU karena tidak ada lapangan pekerjaan yang menampungnya.
Secara jujur di Jambi saja, data yang diperoleh dari dari penelitian LPMP bahwa selama tahun 2004 di dapatkan hanya ada 30 % saja guru yang layak mengajar. Lalu kemanakah guru yang 70 % nya lagi?
Fakta lain terungkap dalam tulisan Bagus Mustakim; ia mengatakan bahwa guru di Indonesia saat ini mempunyai kulaitas mengajar yang sangat rendah. Hal ini disebabkan karena kesulitan guru dalam mengakses kemajuan, kebijakan, program, dan media pendidikan terkini. Atau disebabakan karena rendahnya kemauan dan tekad dari guru untuk selalu mengakses kemajuan-kemajuan pendidikan terkini.
3. Adanya blow up dari Infotainment dan berita tentang kasus-kasus di sekolah
Kebebasan pers dalam memberikan informasi dan fakta kepada masyarakat terkadang justru membahayakan posisi guru dan sekolah. Tidak adanya sensor tentang pemberitaan negatif tentang dunia pendidikan dan guru sangat berpengaruh pada kepercyaan wali murid kepada sekolah. Sehingga berita yang diserap langsung dioleh mentah-mentah tanpa memperhatikan fakta dan kondisi di balik berita tersebut.
4. Penafsiran salah terhadap lahirnya Komnas Perlindungan Anak
Ada sebagian orang tua yang salah mengartikan lahirnya komisi nasional perlindungan anank yang saat ini diketuai oleh Kak Seto Mulyadi. Mereka menganggap bahwa anak tidak boleh mendapat tindakan kekerasan oleh siapapun termasuk guru di sekolah, meskipun untuk membuat efek jera kepada murid yang melanggar aturan.
Dengan demikian, saat ini guru telah sedikit demi sedikit kehilangan wibawa dan martabatnya di mata siswa dan mali murid. Jika kondisi seperti ini dibiarkan maka penderitaan guru semakin memuncak. Sudahlah gaji kecil, selalu mendapat protes dari wali murid, sering mendapat ancaman dan bahkan nantinya mungkin akan banyak guru yang dipenjara gara-gara rasa cintanya pada murid itu sendiri. Harus ada langkah yang dan gebrakan baru untuk mengembalikan citra, wibawa dan martabat guru, langkah yang dapat dilakukan adalah:
1. Pemerintah harus memberikan perlindungan kepada guru untuk memberikan pembelaan apabila guru mendapat ancaman atau tuntutan di kepolisan atau di komnas perlindungan anak. Jika perlu harus dilahirkan KOMNAS PERLINDUNGAN TERHADAPAP GURU.
2. Adakan pembicaraan dan pemahaman kepada wali murid, bahwa ketika mereka mempercayakan anaknya untuk disekolahkan di sekolah tertentu maka hendaknya wali murid mempercayakan sistem dan aturan sekolah. Ketika terjadi benturan maka metode terbaik adalah diselesaikan secara damai dan kekelauargaan, tidak perlu melaporkan ke kepolisian atau komas perlindungan anak.
3. Hendaknya para guru untuk dapat lebih meningkatkan kemampuannya dalam mengajar, mengembangkan diri dan selalu ingin belajar kepada siapapun. Guru hendaknya tidak segan dan tidak malu untuk mengakui kekurangannya dan tidak malu untuk bertanya kepada yang lebih tahu.
Semoga tulisan ini dapat sedikit memberikan pencerahan kepada guru, siswa dan wali murid akan pentingnya wibawa seorang guru. Jika guru tidak lagi menjadi tauladan dan panutan dari murid, maka saat ini siapa lagi yang bisa memberikan itu semua. Kita tentunya merindukan masa-masa ketika guru benar benar di GUGU dan DITURU.

Dion E. Ginanto
Guru SMA 9 BAtang Hari
Pengajaran Bahasa Inggris pada Anak Autisme

Pengajaran Bahasa Inggris pada Anak Autisme

February 16, 2010 Add Comment
Pendidikan adalah salah satu hal yang sangat fundamental dalam membangun negeri menjadi lebih baik. Oleh karena itu dibutuhkan pendidikan yang merata bagi seluruh warga negara Indonesia. Dalam hal ini tidak menutup kemungkinan bagi anak istimewa (anak autisme) dalam memperoleh pendidikan. Karena hal ini sesuai dengan UUD 1945 hasil amandemen pasal 31 ayat 1 ” Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan.”
Sekolah umum wajib menerima anak yang berkebutuhan khusus, baik anak yang mempunyai kelainan fisik, mental, sosial, ataupun anak berbakat bawaan atau mendadak, termasuk anak autis, dengan catatan, anak tersebut sudah siap didik dan siap latih. Bila ada sekolah yang menolak anak yang berkebutuhan khusus, maka dapat dikenakan sanksi, seperti yang tercantum dalam Pasal 77 UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Penolakan tersebut juga dapat dilaporkan kepada Badan Perlindungan Anak, Dinas Pen¬didikan atau Dinas Sosial.
Sejalan dengan hal tersebut, peran pendidikan harus disejajarkan pada tuntutan internasional dalam era globalisasi seperti saat ini. Bahasa Inggris adalah kunci dalam pemengangan dalam era kemajuan tersebut. Tidak dapat dipungkiri jika saat ini bahasa Inggris bukanlah bahasa yang sulit, karena bahasa ini tengah mulai dikenalkan mulai dari tingkat sekolah Taman Kanak-Kanak. Meskipun banyak anggapan bahwa Bahasa Inggris belum dianggap penting untuk diajarkan pada anak Autis, tetapi yang ditekankan bagi anak autis adalah sebarapa jauh mereka dapat mempelajari hal-hal baru.
Selain itu, bahasa Inggris dianggap perlu diajarkan pada anak Autisme karena hal ini dianggap penting bagi bekal sebelum dimasukkan pada sekolah inklusif amupun sekolah umum. Karena pada dasarnya anak autis apabila dapat ikut mengenyam pendidikan di sekolah inklusi maupun sekolah umum asalakan sudah memenuhi sayarat dan didampingi oleh guru pendamping. Fitri (2006) menyebutkan bahwa titik tekan dalam pengajaran bahasa Inggris pada anak Autis bukanlah pada manfaat dalam mempelajari bahasa tersebut; namun lebih kepada sejauh mana anak autisme dapat menerima materi apapun. Matematika dan bahkan bahasa Ingris bukanlah suatu pengecualian bagi anak autisme untuk dapat mengethauinya. Hal ini dikarenakan bahwa setiap anak mampu dan berhak menerima materi apapun, asal ada tanggung jawab pada pendidik itu sendiri. Senada dengan Fitri, Dewi (2005) menuliskan bahwa
”Bahwa anak autisme itu unik, jadi permasalahannya bukan kepada "manfaat atau tidaknya bahasa Inggris untuk anak autisme", tapi kapan anak-anak autis mempelajari bahasa inggris (tentunya sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan masing-masing anak-anak), lalu bagaimana pengaruh pembelajaran bahasa inggris itu sendiri bagi anak-anak autisme. Saya juga pernah mengalami kasus seperti yang diceritakan oleh ibu dewi dan ibu duma, bahwa beberapa anak penyandang autisme yang verbal sangat senang dengan pembelajaran bahasa Inggris, serta memiliki spell yang oke banget. Dan, terkadang beberapa orang tua anak penyandang autisme juga memilih untuk menyekolahkan anak mereka di sekolah Bilingual (dengan tentunya alasan masing-masing orang tua, dan kemampuan anak yang sudah dievaluasi sekolah yang kemudian diterima oleh sekolah.”

YISSADI (2004) menuliskan dalam artikelnya bahwa anak penyandang autis mempunyai kemampuan bahasa yang sangat baik. Sebagian besar dari mereka dapat berkomunikasi dengan menggunakan simbol, gambar, komputer dan peralatan elektronik. Sehingga hal ini dapat dimanaatkan dalam memberikan pengajaran dengan menggunakan beberapa peralatan tersebut; termasuk dalam hal ini untuk mengajar bahasa Inggris.
Jumlah penyadang autis di Amerika berdasarkan statistik bulan mei 2002, menunjukkan bahwa 1 di antara 150 anak berusia di bawah 10 tahun atau sekitar 300.000 anak-anak mempunyai gejala autis. Statistik ini belum termasuk dewasa, sehingga jika ditotal secara keseluruhan, penyandang autisme di Amerika berjumlah satu juta orang (Afriayanti: 2006). Sedangkan di Indonesia menurut data yang di peroleh dalam penelitian Dewi (2006) pada tahun 2004 terdapat 70 anak penyandang autis/10.000 kelahiran atau 1:150. Berarti dalam 150 kelahiran akan terdapat 1 anak penyandang autisme.
Pengertian Autisme

Kata Autisme berasal dari bahasa Yunani: "Autos" (diri sendiri) dan "Isme" (aliran) dapat diartikan sebagai suatu paham yang tertarik hanya pada diri dan dunianya sendiri. Autisme adalah gangguan perkembangan mental yagn menyangkut gangguan komunikasi, interaksi sosial dan aktivitas imajinasi (Dewi: 2006).
Charles A. Hart dalam Afrianti (2006) mendefinisikan autisme sebagai suatu kondisi yang menggambarkan sejumlah permasalahan neurologist yang mempengaruhi pikiran, persepsi dan perhatian. Pengaruh atas ketidakmampuan yang ada tersebut selanjutnya menghambat dan mengganggu signal dari mata untuk berinteraksi dengan orang lain atau menjalankan aktivitas sosial bahkan kemampuan berkomunikasi, termasuk membatasi berbagai kemampuan lainnya seperti imajinasi dan argumentasi.
Sedangkan menurut Byrna Siegel dalam Afrianti (2006) autisme diketahui sebagai gangguan perkembangan yang berefek pada banyak aspek tentang bagaimana cara pandang seorang anak terhadap dunia dan kemampuannya dalam mempelajari setiap pengalaman yang dihadapinya.
Senada dengan pengertian di atas, situs wikipedia online mendefinisikan Autiseme sebagai: ketidaknormalan perkembangan neuro yang menyebabkan interaksi sosial yang tidak normal, kemampuan komunikasi, pola kesukaan, dan pola sikap. Autisme bisa terdeteksi pada anak berumur paling sedikit 1 tahun. Autisme empat kali lebih banyak menyerang anak laki-laki dari pada anak perempuan (Autisme (n.d)).

Karakteristik/ Tanda-tanda Autisme
Artikel dalam situs wikipedia (n.d) tersebut memaparkan tentang tanda-tanda anak penyandang autisme antara lain:
- tidak bisa menguasai atau sangat lamban dalam penguasaan bahasa sehari-hari
- hanya bisa mengulang-ulang beberapa kata
- mata yang tidak jernih atau tidak bersinar
- tidak suka, tidak bisa atau atau tidak mau melihat mata orang lain
- hanya suka akan mainannya sendiri (kebanyakan hanya satu mainan itu saja yang dia mainkan)
- serasa dia punya dunianya sendiri
- tidak suka berbicara dengan orang lain
- tidak suka atau tidak bisa menggoda orang lain.
Namun demikian bukan berarti dengan adanya ciri-ciri di atas, anak autisme tidak dapat diajari sesuatu hal seperti layaknya anak-anak normal seusianya. Yang terpenting adalah bagaimana menemukan teknik untuk dapat mengajari mereka sesuai dengan apa yang seharusnya diajarkan kepada mereka.
Putra Kembara (2004) memaparkan bahwasannya Sejauh ini tidak ditemukan tes klinis yang dapat mendiagnosa langsung autisme. Diagnosa yang paling tepat adalah dengan cara seksama mengamati perlilaku anak dalam berkomunikasi, bertingkah laku dan tingkat perkembangannya. Dikarenakan banyaknya perilaku autisme juga disebabkan oleh adanya kelainan kelainan lain (bukan autis) sehingga tes klinis dapat pula dilakukan untuk memastikan kemungkinan adanya penyebab lain tersebut.
Karena karakteristik dari penyandang autisme ini banyak sekali ragamnya sehingga cara diagnosa yang paling ideal adalah dengan memeriksakan anak pada beberapa tim dokter ahli seperti ahli neurologis, ahli psikologi anak, ahli penyakit anak, ahli terapi bahasa, ahli pengajar dan ahli profesional lainnya dibidang autisme. Dokter ahli / praktisi profesional yang hanya mempunyai sedikit pengetahuan / training mengenai autisme akan mengalami kesulitan dalam men-diagnosa autisme. Kadang kadang dokter ahli / praktisi profesional keliru melakukan diagnosa dan tidak melibatkan orang tua sewaktu melakukan diagnosa. Kesulitan dalam pemahaman autisme dapat menjurus pada kesalahan dalam memberikan pelayanan kepada penyandang autisme yang secara umum sangat memerlukan perhatian yang khusus dan rumit (Putra Kembara:2004).

Pengajaran Bahasa Inggris

Seperti yang diungkapkan semula bahwa era globalisasi menuntut kecakapan bahasa Inggris yang tinggi bagi seluruh lapisan masyarakat. Oleh karena itu, dibutuhkan inovasi dari semua pihak untuk dapat menciptakan mekanisme yang inovatif agar bahasa Inggris dapat diterima oleh semua pihak, termasuk dalam hal ini para penyandang Autisme. Pelajaran bahasa Inggris dapat diperoleh melaui dua jalur, yaitu jalur formal (di bangku sekolah dan kuliah), semi-formal (kursus bahasa Inggris), dan non-formal (les privat, Home Schooling, dll).
Kokasih dan Hery (1998) menuliskan bahwa beberapa pakar bahasa mendukung pandangan "semakin dini anak belajar bahasa asing, semakin mudah anak menguasai bahasa itu". Misalnya, McLaughlin dan Genesee menyatakan bahwa anak-anak lebih cepat memperoleh bahasa tanpa banyak kesukaran dibandingkan dengan orang dewasa. Demikian pula Eric H. Lennenberg, ahli neurologi, berpendapat bahwa sebelum masa pubertas, daya pikir (otak) anak lebih lentur. Makanya, ia lebih mudah belajar bahasa. Sedangkan sesudahnya akan makin berkurang dan pencapaiannya pun tidak maksimal.
Bukan hanya anak pada umumnya yang dapat mempelajari bahasa Inggris dengan baik; para penyandang autisme juga mempunyai kemampuan yang hampir sama untuk dapat menguasai bahasa asing tersebut. Berikut adalah petikan dari kisah nyata yagn dituturkan oleh ibu dari penyandang Autisme:
“Anakku untuk di Malaysia agak susah pake satu bahasa aja. Tapi kalau gara-gara dua bahasa menyebabkan autis aku juga baru denger, kayaknya biar pake satu bahasa juga, anak autis tetep aja jadi autis. Tapi sekarang aku liat anakku udah ngerti arahan dalam bahasa Indonesia maupun Inggris. Misalnya dia kalo berhitung one two three tapi kalau ditanya jawabnya iya. Temen-temen yang lain juga gitu, malah yang anak chinesse jadi tiga bahasa, Mandarin, Melayu juga Inggris.” (Sesuai yang dituliskan pada: Autis dan Dua Bahasa (n.d) tersedia dalam: http://mayoclinik.com/invoke.cfm?id=DSOO348)
Pengajaran bahasa Inggris pada anak autisme dirasa dapat dilaksanakan dengan baik, hal ini dikarenakan lebih mudah mengungkapkan kemauan dan keinginan menggunakan bahasa Inggris. Ternyata menurut guru yang mengajar autis bahwa hal ini dimungkinkan karena bahasa Inggris pengucapannya lebh sederhana. Misalnya untuk angka 10 dalam bahasa Inggris cukup mengucapkan “ten” (satu suku kata) tidak harus mengucapkan se-pu-luh (tiga suku kata). Demikian juga dengan kata-kata yang lain seperti: want (satu suku kata), sedangkan suka (dua suku kata), shoes: se-pa-tu, hand: ta-ngan, book: bu-ku, dll.
Semoga dengan pengajaran bahasa Inggris selain untuk memenuhi tuntutan hak anak autisme dalam Undang-Undang, juga dapat memberikan kepuasan tersendiri bagi si penyandang autisme. Sehingga diharapakan pembelajaran bahasa yang menyenangkan dapat dijadikan sebagai terapi tambahan dalam upaya penyembuhan dari autisme.

Dion E. Ginanto,
Staff Pengajar di SMA 9 Batang HAri Jambi

FORT JESUS

February 09, 2010 Add Comment
FORT JESUS, MOMBASA, KENYA


The Fort Jesus is located in Mombasa Island which is in the Coast province of Kenya. It lies a distance of about 490-km from Nairobi city.

The Portuguese built Fort Jesus in 1593. The site chosen was a coral ridge at the entrance to the harbor. The Fort was designed by an Italian Architect and Engineer, Joao, Batista Cairato. The earliest known plan of the Fort is in a manuscript Atlas by Manuel Godinho de Heredia - dated 1610 which shows the original layout of the buildings inside the Fort.



Portuguese drawings Fort Jesus, Mombasa






Fort Jesus was built to secure the safety of Portuguese living on the East Coast of Africa. It has had a long history of hostilities of the interested parties that used to live in Mombasa. Perhaps no Fort in Africa has experienced such turbulence as Fort Jesus. Omani Arabs attacked the Fort from 1696 to 1698. The state of the Fort can be understood from the plan of Rezende of 1636 and other plans by Don Alvaro? Marquis of Cienfuegas and Jose? Lopes de Sa - made during the brief reoccupation by the Portuguese in 1728 - 1729. In the Cienfuegas plan, the names of the bastions are changed.


Fort Jesus Barracks, Mombasa


Between 1837 and 1895, the Fort was used as barracks for the soldiers. When the British protectorate was proclaimed on the 1st of July 1895, the Fort was converted into a prison. The huts were removed and cells were built. On the 24th October 1958, Fort Jesus was declared a National Park in the custody of the Trustees of the Kenya National Parks. Excavation was carried out and the Fort became a Museum in 1962. The Fort is now an important historical landmark in the East African region.

Fort Jesus MuseumThe Fort Jesus museum was built with a grant from the Gulbenkian Foundation. The exhibits consist of finds from archaeological excavations at Fort Jesus, Gede, Manda, Ungwana and other sites. Other objects on display were donated by individuals notably Mrs. J.C. White, Mr. C.E. Whitton and Mrs. W.S. Marchant. The Fort has lived through the years of hostilities and a hush climate and is structurally well - maintained.
Source: National Museums of Kenya






INTERESTING FORT JESUS HISTORY FROM WIKIPEDIA

Fort Jesus is a Portuguese fort built in 1593 by order of King Philip II of Spain ( King Philip I of Portugal ), then ruler of the joint Portuguese and Spanish Kingdoms, located on Mombasa Island to guard the Old Port of Mombasa, Kenya. It was built in the shape of a man (viewed from the air), and was given the name of Jesus, after Shaikh Isa Bin Tarif Al Bin Ali Al Utbi conquered the fort in 1837 after being asked for assistance by Sayyid Said Bin Sultan , Sultan of Oman . The name Jesus in Arabic means Isa, therefore it means the Fort of Isa ( Isa Bin Tarif ). Isa Bin Tarif , Chief of the Al Bin Ali Al Utbi Tribe , is a descendant of the original uttoobee conquerors of Bahrain . The Al Bin Ali were a politically important group that moved backwards and forwards between Qatar and Bahrain, they were the original dominant group of Zubara area , they were also known for their courage, persistence, and abundant wealth.




MORE INFORMATION
Magical Kenya


VIDEO The Fort Jesus Experience in Mombasa Kenya