Menyoal Degradasi Moral Siswa  (Perlukah Kembali pada Metode Konvensional?)

Menyoal Degradasi Moral Siswa (Perlukah Kembali pada Metode Konvensional?)

April 14, 2010 Add Comment
Menyoal Degradasi Moral Siswa
(Perlukah Kembali pada Metode Konvensional?)
Oleh: Dion Eprijum Ginanto


          Akhir-akhir ini ini banyak media masa yang menyorot tentang permasalahan remaja. Hampir setiap hari pemberitaan di media cetak dan elektronik mengabarkan kasus kenakalan remaja yang mayoritas diperankan oleh siswa. Bukan hanya itu, razia Satuan Polisi Pamong Praja (SATPOL PP) dalam setiap aksinya kerap menjaring siswa-siswi yang kedapatan sedang melakukan aktivitas lain di luar sekolah seperti: sekedar kongko-kongko di pinggir jalan, berpacaran di taman, merokok dan minum-minuman keras, bermain games online di warnet, dan yang lebih parah ada juga yang kedapatan berbuat mesum di tempat kost-kostan pada jam sekolah.
         Degradasi moral siswa saat ini sudah mencapai titik yang mengkhawatirkan; sebagai contoh, ketika guru yang memberikan teguran, siswa malah akan semakin berani dan bahkan tidak segan-segan untuk membentak guru. Sikap berani melawan guru seperti ini sudah tidak asing lagi terlihat di hampir seluruh sekolah di Indonesia.
          Guru seolah tidak lagi mempunyai taring di hadapan siswa, guru seakan telah dianggap sebagai suatu pekerjaan semata. Dalam artian guru tidak lagi dipandang sebagai orang tua di sekolah yang dapat dijadikan sebagai tempat curahan hati (curhat), konsulatasi dan menumpahkan kasih sayang.
Meskipun demikian, kasus-kasus siswa yang melawan guru seperti di atas mungkin tidak berlaku di pondok pesantren. Berdasarkan pengamatan penulis, hal ini disebabkan metode pengajaran yang diberlakukan di pesantren sebagian besar masih menggunakan cara-cara konvensional (tradisonal) dalam mendidik putra-putrinya. Sebagai contoh guru boleh memberikan hukuman fisik (mencambuk/memukul dengan tidak terlalu keras) pada siswa yang sudah baligh namun tidak mau sholat. Guru juga boleh memberikan hukuman fisik seperti push up, atau menjewer siswa yang kedapatan merokok di lingkungan sekolah, bahkan hanya sekedar tidak memakai celana di bawah lutut untuk siswa yang sedang bermain sepak bola, harus rela mendapat hukuman pukul dengan menggunakan kayu rotan kecil.
          Metode Konvensional seperti yang diterapkan di pesantren sangat berhasil, terbukti tidak pernah terdengar ada siswa yang menghina guru, melwan guru apalagi berani memukul guru. Faktor lain yang menyebabkan pesantren berhasil mendidik moral peserta didiknya adalah tidak ada campur tangan orang tua dalam pendidikan moral kepada anaknya, orang tua sudah memberikan kepercayaan 100% kepada pihak pesantren dalam memberikan ilmu kepada putra-putrinya.
Konsep seperti di pesantren, jauh berbeda dengan konsep pendidikan yang ada di sekolah umum. Apalagi saat ini ada peraturan yang mengatur tidak boleh mengajar dengan menggunakan hukuman fisik. Punishment and Reward diberlakukan tidak berimbang, dalam artian guru bebas memberikan reward, sedangkan untuk punishment dibatasi (tidak boleh dilakukan dengan hukuman fisik). Ditambah lagi saat ini telah lahir Komisi Perlindungan Anak, yang selalu memberikan kritikan dan bahkan melaporkan guru yang kedapatan memberikan hukuman fisik kepada anak didik mereka. Padahal boleh jadi guru melakukan itu semua untuk memberikan efek jera kepada siswa yang melakukan pelanggaran.

Metode Konvensional

           Metode konvensioanal adalah metode atau cara dalam mendidik siswa/siswi di sekolah dengan menggunakan cara arif namun bersifat tradisional. Metode ini dipraktekkan pada era sepuluh atau dua puluh tahun yang lalu. Metode konvensional ini telah banyak ditinggalkan seiring perkembangan zaman, dan adopsi pada sistem pendidikan ala barat. Padahal sifat dan tabiat orang timur sangat jauh berbeda dengan tabiat siswa-siswi di negara-negara barat. Akan lebih arif apabila Indonesia masih menggunakan sistem pendidikan yang sampai sekarang dipraktekkan di Cina, Jepang, India, Malaysia, dan Negara-negara di Timur tengah. Negara-negara tersebut, meskipun mereka mendidik siswanya dengan menggunakan metode disiplin yang cukup tinggi, dan masih menggunakan hukuman fisik dalam pengajaran, namun out put yang dikeluarkan sangat bagus. Hal ini membuktikan, budaya ketimuran hanya cocok menggunakan sistem pendidikan ala ketimuran juga.
Berikut adalah cir-ciri pendidikan konvensional yang dahulu pernah diterapkan di Indonesia:

1. Cium tangan sebelum masuk dan keluar kelas. Penulis meyakini, cium tangan ini sudah mulai pudar dan tidak banyak lagi dipraktekkan di kelas. Padahal secara tidak langsung, cium tangan guru menandakan bakti dan rasa hormat kepada guru.

2. Hukuman fisik dalam batasan medidik. Penulis masih ingat, ketika duduk di bangku SD, saat itu ada tugas untuk menghafal nama-nama mentri kabinet pembangunan di era Soeharto, ketika ada yang salah dalam menyebutkan menteri, maka guru akan memberikan hukuman cubit di perut. Tetapi, cubitan itu hanya sebatas mendidik tidak untuk menganiaya, hasilnya sampai sekarang saya masih mampu menyebutkan nama-nama menteri era Soeharto. Tetapi sekarang, saya yakin hanya segelintir siswa yang mampu menghapal nama-nama menteri.

3. Guru mempunyai wewenang untuk tidak atau meluluskan siswa. Sebelum diberlakukannya UN/UAN, guru di sekolah mempunyai hak untuk meluluskan atau tidak meluluskan siswa. Faktor kelulusan ada di tangan sekolah, sehingga siswa tidak akan berani melawan guru, karena jika siswa melawan guru akan mendapat sanksi tidak lulus sekolah. Namun kondisi yang terjadi sekarang, sebejad apapun siswa di sekolah mereka akan tetap lulus, dan malah sebaliknya terkadang siswa yang rajin dan patuh dapat tidak lulus sekolah. Lebih parah lagi, sstandar kelulus UN yang begitu tinggi membuat beberapa oknum sekolah melakukan tindak kecurangan, sehingga tak ada lagi murid yang patuh kepada guru dikarenakan mereka sudah yakin akan lulus. SUNGGUH TRAGIS.

4. Orang tua dan Masyarakat memberikan kepercayaan 100% kepada sekolah dalam Mendidik murid. Ketika penulis masih duduk di bangku SD, guru memberikan hukuman untuk hormat bendera dikarenakan penulis melanggar peraturan sekolah. Sepulang sekolah penulis langsung melaporkan pada orangtua, namum bukannya orangtua membela malahan memberi hukuman tambahan dan membenarkan hukuman guru. Kejadian seperti ini mungkin sangat jarang kita jumpai, yang ada adalah ketika murid mendapat hukuman fisik, maka orang tua segera menegur guru dan kepala sekolah atau malah melaporkan kepada pihak berwajib. 
Dukungan masyarakat di kala itu juga sangat tinggi; kantin sekolah misalnya, tidak akan bersedia melayani murid yang jajan pada saat jam belajar, dan tidak segan-segan melaporkan siswa yang merokok di kantin sekolah. Hari ini kita bisa melihat, malahan ada kantin di sekolah yang menjual rokok secara diam-diam.

5. Kembali pada Pendidikan Moral Pancasila (PMP). Bisa jadi penyebab rendahnya moral peserta didik akhir-akhir ini disebabakan karena mereka tidak lagi mempelajari Pendidikan Moral Pancasila. Namun sekarang dirubah menjadi PKN (Pendidikan Kewarganegaraan), nilai-nilai moral dan tata krama serta tepo seliro tidak lagi diajarkan kepada siswa.

6. Kembali pada GDN (Gerakan Disiplin Nasional). Gerakan yang dicanangkan oleh Almarhum Pak Harto sedikit banyak memberikan warna pada kedisiplinan siswa pada saat itu. Nilai-nilai nasionalisme terjunjung tinggi. Namun kondisi sekarang, rasa kedisiplinan sudah mulai surut pada jiwa pemuda Indonesia.

          Mendidik seorang anak tidak selamanya harus dengan kelembutan. Karena karakter anak didik berbeda satu sama lain. Dalam hal ini ada satu majalah Islam yang memberikan contoh/logika: Dalam memegang burung jika terlalu keras burung itu akan mati, sementara jika terlalu lembut burung tersebut akan terbang. Perlu adanya pengamatan yang jeli terhadap siswa secara akurat dan kapan waktu yang tepat untuk memberaikan hukuman pada anak. Logika lain adalah mendidik anak mirip seperti seorang penggembala bebek/itik, ketika sang itik tidak mau berjalan pada jalan yang sudah diarahkan maka sang penggembala biasanya akan menggunakan kayu untuk mengarahkan sang itik.
Penyebab Degradasi Moral
          Namun demikian, seorang guru tidak boleh serta merta kembali melakukan hukuman keras kepada murid. Perlu adanya analisa penyebab mengapa siswa melakukan pelanggaran norma-norma sosial. Berikut beberapa penyebab rendahnya moral siswa:

1. Tayangan Televisi dan Media lain yang terlalu bebas

Kebebasan pers dalam memberikan informasi dan fakta kepada masyarakat terkadang justru membahayakan posisi guru dan sekolah. Tidak adanya sensor tentang pemberitaan negatif tentang dunia pendidikan dan guru sangat berpengaruh pada kepercayaan wali murid kepada sekolah. Sehingga berita yang diserap, langsung diolah mentah-mentah tanpa memperhatikan fakta dan kondisi di balik berita tersebut. Selain itu tayangan-tayangan kejahatan yang sering diekspose di TV tanpa adanya sensor, membuat siswa yang sifat ingin mecobanya sangat tinggi, terpancing untuk mencoba hal-hal yang baru saja mereka tonton di TV.

2. Tidak adanya pemberian pengertian terhadap penggunaan teknologi

Kasus penghinaan murid terhadap guru melalui face book yang terjadi akhir-akhir ini, merupakan contoh lalainya guru dan orang tua dalam memberikan pengertian kepada siswa tentang penggunaan teknologi. Selain itu, penggunaan teknolgi semacam, HP, komputer dan motor/mobil dirasa dapat mengurangi jiwa sosial siswa, sehingga tidak ada lagi terjadi hubungan erat antara guru dan siswa akibat penggunaan teknologi.

3. Kondisi lingkungan dan orang tua

Lingkungan adalah faktor yang paling berpengaruh dalam memberi warna pada peserta didik. Apabila orang tua tidak berhasil memberikan pengertian kepada anak tentang bahaya pergualan yang salah di lingkungan, maka akan berakibat sangat fatal pada diri perserta didik. Pendidikan pertama sebelum siswa masuk sekolah adalah pendidikan keluarga, apabila keluarga mampu memberikan pondasi yang kuat pada anak, maka dapat diyakinkan mereka akan berhasil di kemudian hari.

           Kesimpulannya adalah, memang sekali-kali guru perlu kembali kepada metode mendidik dengan cara konvensional. Namun sebelumnya, guru harus melakukan pendekatan dan menganalisa peserta didik yang akan diberi perlakuan sedikit keras. Karena seperti yang saya katakan di atas, tidak semua siswa dapat diberikan perlakuan lembut. Sebaliknya tidak semua siswa dapat menerima jika diberi perlakuan yang sedikit keras. Yang terpenting adalah bahwa guru harus mampu tampil berwibawa di depan murid, wibawa tersebut tidak bisa dibuat-buat, namun akan lahir dengan sendirinya ketika kita dapat bertugas dengan cerdas dan disiplin yang tinggi. Bravo guru Indonesia, ...... (Dari Berbagai Sumber)


*) Penulis adalah Guru Bahasa Inggris di SMA N 9 BATANG HARI dan MAS Darussalam Jangga Baru, Batang Hari


Boleh Didownload, tapi ijin dulu ya... caranua kirim aja koment di bawah ini...
KOMISI PERLINDUNGAN ANAK   VS   KOMISI PERLINDUNGAN GURU

KOMISI PERLINDUNGAN ANAK VS KOMISI PERLINDUNGAN GURU

April 14, 2010 Add Comment
KOMISI PERLINDUNGAN ANAK
VS
KOMISI PERLINDUNGAN GURU
Oleh: Dion Eprijum Ginanto

Jambi (ANTARA News) - AG, guru SMPN 20 Kota Jambi, terdakwa kasus menampar siswanya, MT siswa yang tertangkap menonton film porno di telepon genggamnya saat jam pelajaran, oleh orangtua siswa, AG dilaporkan ke kantor polisi dan dituntut hukuman tiga bulan penjara dengan masa percobaan enam bulan. (www.antranews.com)

              Berita yang sangat memprihatinkan di atas, merupakan sebagian kecil dari kasus guru dan siswa saat ini. Guru akhir-akhir ini kurang mempunyai martabat di hadapan siswa dan orang tua. Sebagai contoh untuk kasus AG, guru yang dilaporkan orangtua murid yang ditampar guru gara-gara menonton video mesum saat jam pelajaran. Pertanyaannya, apakah arif orangtua melaporkan guru yang dengan ikhlas ingin memperbaiki moral anaknya malah dilaporkan ke polisi? Apakah pantas orang tua mendapati anaknya menonton video mesum malah memberikan dukungan kepada anaknya? Jawabannya tentu sikap orang tua yang melaporkan guru ke kantor polisi merupakan sikap yang kurang arif dalam konteks pendidikan moral anak.
            Mari kita melakukan kilas balik sepuluh atau lima belas tahun silam, sistem pendidikan yang diberlakukan di Indonesia menggunakan sistem konvensional. Apabila ada anak yang bandel, kemudian guru mencubit, atau memberi hukuman fisik seperti berdiri di depan kelas, push up dll; orangtua di rumah malah memberikan dukungan kepada guru. Orang tua tidak akan melaporkannya ke kantor polisi, tidak ada komisi perlindungan yang melaporkan guru yang mencubit siswa yang nakal ke kantor polisi.
            Hal ini bukan berarti penulis membenarkan tindakan hukuman jewer/cubit kepada murid. Namun lebih lepada rendahnya kepercayaan orang tua kepada sekolah. Selain itu degradasi moral anak bangsa juga disebabkan bebasnya tayangan infotainment yang menjadi trend setter cara bergaul mereka, maka kini murid tak lagi menghargai gurunya.
Kondisi nyata yang terjadi sekarang adalah, ketika guru berhasil mendidik anak muridnya menjadi sukses, guru tidak pernah disebut atau diingat sebagai orang yang berjasa. Namun ketika guru melakukan kesalahan dalam bentuk kekerasan dll, dengan sigap orang tua murid melaporkannya ke kantor polisi.

Berikut adalah kisah-kisah nyata tragis yang menimpa pada guru. Kisah ini di kutip dari salah satu majalah Islam:
Kisah 1
”Sebut saja namanya Kahdijah (bukan nama asli), maksud hati ingin memberi efek jera kepada murid yang berkali-kali tidak mengerjakan PR dengan cara menjewer. Tapi, jeweran itu malah membuahkan tuntutan yang tidak mengenakkan. Guru SD tersebut dituntut wali murid untuk membayar ganti rugi sebagai balasannya. Khadijah tentu saja panik. Apalagi ada ancaman dari orangtua murid untuk membeberkan masalah ke media, bahkan akan berlanjut ke kepolisisan. Ibu guru tersebut sempat kelimpungan untuk mendapatkan uang senilai Rp. 5 juta. Namun karena mendapat pembelaan dari rekan seprofesinya, tuntutan itu masih mengambang.”
Kisah 2
”Ibu Siti (bukan nama asli) Guru SD N Depok kelas IV. Ia pernah didatangi wali murid dan dua orang preman bertubuh tinggi besar. Gara-gara tidak menaikkan kelas anak didiknya. Ibu Siti bahkan sempat diancam wali murid akan dilaporkan ke diknas dan wartawan setempat, jika guru itu tak menaikkan anaknya. Kejadian itu bukan hanya sekali, ia sering mendapatkan teror dan ancaman dari preman yang sengaja dibawa oleh orang tua demi kenaikan kelas anaknya. Setelah melaporkan ke kepala sekolah, rupanya wali murid belum juga berhenti untuk menteror sang guru bahkan sang wali murid berani mendatangi sekolah untuk memberikan ancaman. Akhirnya karena tidak tahan dengan ancaman bertubi-tubi dan takut akan adanya efek negatif menimpa guru dan sekolahnya maka dengan terpaksa sang kepala sekolah mengeluarkan keputusan untuk menaikkan sang murid dengan cara naik terbang. Artinya sang murid bisa naik kelas asalkan pindah sekolah. Inilah bentuk ancaman dan teror kepada guru, ini membuktikan guru tak lagi dihargai oleh masyarakat.”
            Kedua kisah ini adalah sebagian kisah dari ribuan kasus teror dan ancaman kepada guru di Indonesia. Ancaman ini bukan hanya dari orang tua murid saja, namun mereka melibatkan LSM, preman dan bahkan wartawan dan yang lebih parah lagi sampai ke KOMNAS PERLINDUNGAN ANAK. Lahirnya Komnas Perlindungan Anak di Indonesia memang dirasa bermanfaat; namun di sisi lain Komnas dan UU perlindungan anak dijadikan alasan untuk dapat benar-benar memproteksi anak yang sebenarnya tidak perlu mendapat proteksi berlebihan. Padahal produk pendidikan 10-20 tahun yang lalu, dengan metode pendidikan klasik/tradisional, murid mempunyai tata krama dan sopan santun serta disiplin yang tinggi. Guru mempunyai wibawa yang tinggi sebagai pendidik, namun kondisi saat ini telah berubah 180 %.
           Lalu bagaimana jika kondisinya terbalik seperti saat ini, ketika guru dilaporkan ke kantor polisi, siapakah yang akan memberikan perlindungan kepada guru? Atau ketika guru dianiaya atau dihina oleh murid apakah ada komisi yang akan melaporkan siswa ke kantor polisi. Saat ini guru berhadapan dengan siswa, yang nyata-nyata sudah dilindungi oleh Undang-Undang perlindungan Anak, sudah seharusnya guru mempunyai payung hukum yang sama. Undang-Undang Perlindungan Guru yang kemudian melahirkan Komisi Perlindungan Guru adalah wajib untuk segera direalisasikan.
           Selama ini situasi dunia pendidikan yang menyangkut payung hukum perlindungan guru masih belum kondusif. Karena banyak guru yang akhirnya berurusan dengan penegak hukum karena ketidaktahuan mereka. ”Mereka banyak yang belum terlindungi oleh hukum dan kadang karena kepolosan atau minimnya pengetahuan, justru menghadapkan mereka pada hukum itu sendiri,” (Kutipan dari Ahmad Zaenal Afani dari www.kapanlagi.com). Banyak guru yang terseret ke meja hijau, karena kasus-kasus yang terjadi di sekolah padahal boleh jadi perbuatan guru adalah murni untuk memberikan penyadaran dan efek jera kepada siswa.

Ada beberepa alasan mengapa guru harus segera mempunyai Undang-Undang Perlindungan Guru dan kemudian melahirkan Komnas Perlindungan Guru:
1. Untuk memberikan payung hukum kepada Guru
2. Untuk memberikan advokasi kepada guru, yang notabene tidak mengetahui permasalahan hukum.
3. Memberikan kenyamanan dalam melaksanakan tugasnya.
4. Menjadi penyeimbang terhadap UU perlindungan anak dan Komnas perlindungan anak, dan yang tidak kalah penting adalah
5. Memberikan perlindungan dan dukungan terhadap guru.
Undang-undang perlindungan hukum atau Komnas perlindungan kepada guru bukan berarti memberikan perlindungan kepada guru yang melakukan tindak kekerasan kepada murid. Ini juga bukan berarti guru dapat leluasa melakukan tugas tanpa ada pengawasan namun lebih kepada upaya perlindungan dan dukungan di kemudian hari apabila dijumpai kasus-kasus yang menimpa guru.

          Cita-cita akhir dengan adanya UU perlindungan guru adalah tidak akan ada lagi kasus-kasus nyiris yang menimpa guru. Sebaliknya juga tidak akan ada lagi kisah-kisah memilukan yang terjadi kepada siswa, karena masing-masing pihak (guru dan siswa) mempunyai payung hukum yang sama.
Ke depan, diharapkan adanya hubungan yang erat antara guru dan siswa. Guru diharapkan mampu berperan menjadi orang tua yang dapat mengayomi anak didiknya, memberikan kasih sayang dan contoh positif kepada siswa. Begitu juga siswa, mereka harus memerankan sebagai seorang anak yang menghormati, mencintai dan menyayangi guru mereka di sekolah. Jika sudah ada pemahaman seperti di atas, sebenarnya tidak perlu ada Komnas perlindugan anak dan guru, cukuplah hukum kekeluargaan yang dapat menyelesaikan setiap permasalahan di sekolah.

Sumber:
________ (2010) Guru Tampar Siswa Dituntut Tiga Bulan Percobaan [Online] terdapat dalam www.antaranews.com (diakses dari internet pada 06 Maret 2010)

________ (2009) UU Perlindungan Guru Harus disahkan Tahun Depan [Online] terdapat dalam www.kapanlagi.com (diakses dari internet tanggal 06 Maret 2010)


*) Penulis adalah Guru Bahasa Inggris di SMA N 9 BATANG HARI dan MAS Darussalam Jangga Baru, Batang Hari

YVONNE CHAKA CHAKA - THANK YOU MR DJ FOR PLAYING MY SONGS

April 10, 2010 Add Comment
Yvonne Chaka Chaka-Africa's music diva


Yvonne Machaka aka Yvonne Chaka Chaka is an internationally recognized and highly respected Princess of Africa, performing diva, entrepreneur, and humanitarian.

Yvonne Chaka Chaka was born in 1965 Dobsonville in Soweto. Yvonne Chaka Chaka grew up in a humble family. Her father passed away when she was 11. Her Mother became the sole provider and struggled to bring three daughters with the little income she made as a domestic worker.
When asked who she admired most, Chaka Chaka said "My mother because she has always been there for me. My mother raised three daughters single-handedly on a domestic worker's salary. That took great courage and strength. She is my mentor and hero. When I was born in 1965 in Soweto, it was during apartheid, and those were extremely difficult times. My dad was a great musician who could never realize his dream. He died when I was 11 years old. I inherited my talent from both parents, so music has always been in my blood. When I was little I would strum an empty tin and blow into a broom stick pretending it was a microphone. I sang in church choirs. I loved singing. I am blessed that I achieved my destiny, and been able to accomplish what my father could not."

Yvonne became the first Black child to appear on South African television when in 1981 "Sugar Shack", a talent show, introduced her to the South African public.

Dubbed the "Princess of Africa", Yvonne Chaka Chaka has been at the forefront of South African popular music for 20 years. Some of her most famous songs include "I'm Burning Up", "I'm in Love With a DJ", "I Cry for Freedom", "Makoti", "Motherland" and the ever-popular "Umqombothi" ("African Beer"). Yvonne has won numerous awards and accolades and graced various magazines. She has shared the stage with megastars such as Bono, Youssou N'Dour , the classic rock band Queen, and South Africans Johnny Clegg, Miriam Makeba, and Hugh Masekela, to name a few. Yvonne has performed for HRM Queen Elizabeth, US President Bill Clinton, South African President Thabo Mbeki, and a host of other world leaders. As a young performer Yvonne was the first Black child to appear on South African television in 1981.




In 1989 she created her own company, Chaka Chaka Promotions. In 1995 she created her own music label, Chaka Chaka Music. Since then every album Yvonne has released has been on her own label. She has two diplomas from the University of South Africa, one in adult education, another in local government, management and administration. Her business ventures include companies in the Information Technology sector; Energy and Minerals sectors; Human Resource Development focused on adult training; and Sandown Motors, a luxury motor vehicle retailer . Yvonne's energy and enthusiasm is boundless. She has become a hero and mentor to others, a willing warrior and agent for change in enormous proportions. Considered a role model throughout the African continent, she has demonstrated compassion for others throughout her career.

Yvonne actively promotes the rights of women, and the protection of Children. She is a Trustee of Tomorrow Trust, which educated orphans and vulnerable children. Yvonne Chaka Chaka is also UNICEF's Goodwill Ambassador against malaria, and also Ambassador for Roll-Back Malaria (sponsored by the World Bank, United Nations, World Health Organization, and other institutions). She also founded and runs her own charity the Princess of Africa Foundation.

One of her favourite male mentor and father figure is Nelson Mandela. Mandela who fondly refers to Yvonne as his dear daughter once stated, “It is what we make of what we have, not what we are given, that separates one person from another. Yvonne, you are a testament to my belief. You have made all of South Africa proud to claim you as a national icon. You have motivated millions of women and men on our continent. Your generosity has benefited untold numbers of families and orphans facing the challenges of AIDS, terminal illness, abuse, poverty, and illiteracy. I know you will always make your indelible mark wherever you go, and with what ever you do. There is no stopping you! You will always be my Princess of Africa.”


Yvonne Chaka Chaka with husband and family


The men in her life


Yvonne Chaka Chaka with hubby Dr Mandlalele Mhinga


Her philosophy is, “When we are born we come with nothing. And when we die, we die with nothing. So every day I wake up and say, ‘God thank you for the life that you have given me. I take nothing for granted. I love living, I love life, and I live it to the fullest.'”




In Greek legend the goddess Clytemnestra said, “We are the instruments of Heaven. Our work is not design, but destiny.” African icon Yvonne Chaka Chaka is living her destiny, and those who understand her message are enriched by it.






YVONNE CHAKA CHAKA MUSIC VIDEOS










TEXT SOURCES AND MORE INFORMATION

OFFICIAL YVONNE CHAKA CHAKA WEBSITE