Freedom to Read Canada!

Freedom to Read Canada!

February 23, 2011 Add Comment
©2011 David Wyman (design)
Just a little reminder that this week (in Canada) is Freedom to Read Week, a chance to celebrate information rights and creative freedoms, as well as raise awareness about the book bannings and challenges that continue to occur in libraries, schools and communities every year. As this week is also "reading week" at my university, I'll repeat an earlier comment I made

Syahrini 300.000 Ketika Warga Menjerit Meminta Listrik

February 18, 2011 Add Comment

Syahrini 300.000
Ketika Warga Menjerit Meminta Listrik




“ Syahrini pasti sudah punya anak dengan Anang, mereka jadi nikah kan om?”
Aku sangat tertarik dengan kalimat ini. Kalimat yang tetap membuatku termotivasi, meski saat itu matahari tak kelihatan bersahabat, debu tak melihatku terhormat, anginpun tak sudi merapat, suara wallet yang semakin menyayat dan bau limbah yang terus menyengat. Kalimat Wanita penjual Bakso tentang kesimpulannya pada Sharini dan Anang akhirnya menyelamatkanku. Aku selamat, setelah sejam lebih lamanya aku tak berhasil mencari ide untuk membuat feature.

Syahrini dan Anang, jelas-jelas sudah tak lagi menjadi pasangan duet. Bahkan Anang saat ini telah mempunyai pasangan duet yang baru selain berduet dengan putrinya sendiri, Aurel. Informasi begitu cepat berubah, wanita penjual bakso yang kuwawancarai dalam perburuan berita bahkan belum tahu siapa itu Ashanti. Wajar saja, karna terakhir kali ia nonton infotainment adalah 1 tahun lalu. Itupun ketika ia numpang nonton TV waktu ada acara arisan di tempat tetangganya yang kebetulan kaya.
“Nyari apa om?”
aku tak tahu kenapa aku dipanggil om oleh mbak penjual bakso, mungkin saja aku terlihat seperti om-om genit yang kerjaanya godain cewek-cewek di pusat kota jambi. Belakangan ini, ada yang pernah melaporkan bahwa om-om itu ternyata bertugas sebagai anggota dewan.
“bakso ada mbak?”
“baksonya belum mateng om,… tapi kalau sekedar minum es atau gorengan sudah ada”
“mbak jawa ya?”
“Nggih, mari om pinarak……”
“Nggih , mbak maturnuwun”
Obrolan selanjutnya dipenuhi dengan basa-basi ringan, perkenalan diri dan penyampaian maksud kedatanganku ke warung baksonya. Aku lakukan persis seperti petuah guruku Mas Andreas Harsono, yang kini namanya membooming atas tuduhan provokator terhadap penyerangan warga Ahmadiyah di Cikeusik. Mas Andreas secara menggebu, mewanti-wanti untuk memberikan deskripsi kerja serta do and don’ts di setiap peliputan. Tak lupa beliau menyelipkan kata verifikasi, verifikasi dan verifikasi yang nggak tahu berapa kali diulang setiap kali mengajar di depan kelas.
Mas Andreas memberikan briefing singkat kepada para peserta meski bus yang kami tumpangi tak pernah jalan mulus. Jalan yang bergelombang, truk pembawa kayu yang lalu lalang, debu yang selalu menutup kaca sehingga membuat sopir harus ekstra hati-hati agar mampu membuktikan dedikasinya dalam memberikan keselamatan pada kami. Berulang kali mas Andreas tersungkur namun dengan cepat pula ia kembali berdiri dan tanpa ragu melanjutkan petuahnya. Kami para peserta workshop ETF sangat menikmati suasana pagi itu.
“Namaku ETI SUTENAH, keren kan om???”
Begitulah ia memperkenalkan dirinya kepadaku, percaya diri yang cukup tinggi untuk seorang wanita penjual bakso sepertinya. Ia biasa dipanggil Eti, berkulit sawo matang, rambut lurus sebahu, tinggi sekitar 150 cm. Suaminya bernama Nurman; Aprilia Wulandari dan Nurfarari Fauziah adalah hasil dari cinta kasih mereka berdua.
Aku hanya tersenyum sambil mengangguk tanda setuju, ia kemudian menceritakan sukadukanya selama 6 tahun ia tinggal di Tebing Tinggi. Ia pindah dari Lampung dan mencoba mengadu nasib di Tebing Tinggi.
“kami bayar listrik Rp. 300.00 per bulan om….”
“Kok mahal bener ya mbak?”
“Iya, ini kami borongan om, ada yang bayar per lampu om, satu lampu Rp. 70.000, bayangin om kalau punya 5 lampu aja; terus kalau ditambah punya kulkas, TV, Setrika, berapa tuh om?
Aku hanya garuk-garuk kepala sambil menerawang berapa uang yang harus dikeluarkan untuk sekedar melihat cahaya di dalam rumah. Tak terbayang uang sebanyak itu hanya untuk menikmati listrik di malam hari saja, siang hari jika ingin nonton TV mereka harus mengeluarkan budget lagi untuk menghidupkan Genset.
“Untuk nonton Syahrini aja, kami harus bayar 300.000 lagi om…., padahal saya itu penggemar Syahrini dan Anang. Syahrini pasti sudah punya anak dengan Anang, mereka jadi nikah kan om?, Sudah setahun saya nggak lihat TV gossip.”
“Wah kalau acara gossip aku gak suka nonton mbak”
Aku tak ingin membuat asumsinya tentang Sharini dan Anang terpatahkan oleh jawabanku. Biarlah waktu yang akan menjawab apa yang terjadi pada Sharini dan Anang.
Obrolan kami berlanjut begitu hangat, mulai dari sumpah serapahnya tentang janji semu para Caleg; lika-liku kehidupannya, masa remajanya dan sampai pada janji Usman Ermulan sang Bupati terpilih yang menjanjikan akan memasang instalasi listrik tenaga gas pada 100 hari pertama progam kerja. Ia bercerita dengan antusias, akupun tak mau kalah, sembari terus melemparkan pertanyaan 5W+1 H aku mengamati kondisi warung yang sekaligus ia tempati bersama Nurman, bersama dua anaknya.
Mereka tinggal di sebuah bedeng kayu, yang dulunya mereka dirikan sektiar 6 tahun lalu. Mereka dulu sempat merasakan manisnya hidup berkecukupan. Namun kemudian bangkrut setelah ditipu oleh orang kepercayaan mereka. Kini mereka bangkit kembali, bedeng bernomor 143 Rt 10 Pasar Baru. Ruang depan disulap untuk warung bakso, lengkap dengan minuman botol yang berjejer di sekeliling dinding. Ada sebuah meja dan dua kursi panjang, gerobak bakso berdiri kokoh tepat di depan rumah. Ruang tengah tidak disekat dengan warung, Televisi, foto-foto pernikahan dan pernak-pernik penghias ruang tamu dapat terlihat dari ruang depan.
Tak terasa aku hanya punya waktu 45 menit lagi untuk pengambilan data akurat untuk feature ku. Lalu kuucapkan terimakasih atas sambutan hangatnya. Sambil berjabat tangan kepada mbak Eti dan Mas Nurman, aku berpamitan.
“Bantu kami agar listrik cepat masuk ya om, aku kok sangsi dengan janji bupati baru, atau minimal do’akan kami ya om…”
“Pasti mbak…”
Aku masih merasa belum cukup dengan hanya mewawancarai Mbak Eti dan Mas Nurman. Kuputuskan di sisa waktu yang ada, aku harus kembali berjalan. Kulihat jam tangan, pukul 11.25. Aku harus mempercepat langkah agar dapat kembali tepat waktu. Sambil berjalan di sepanjang pasar, aku teringat dengan penjelasan Pak Wahyudi Wasri.
Pak Wahyudi Wasri adalah Pelaksana tugas lurah di Tebing tiggi. Karena semenjak 11 bulan berdiri, kelurahan ini belum mempunyai Lurah definitif. Maka pria berkumis tebal dan berjenggot tipis ini ditunjuk oleh pemerintah setempat untuk sementara menjabat sebagai lurah. Ia berpenampilan santai, berkulit sawo matang, tinggi sektar 160 cm, rambut pendek, memakai pakaian batik merah. Sambil duduk di depan para peserta pelatihan ia menerangkan kondisi Kel. Tebing tinggi.
Kelurahan Tebing tinggi, sebelumnya adalah sebuah desa; baru pada tanggal 29 maret 2010 status desa dirubah menjadi kelurahan. Tebing tinggi terdiri dari 6 dusun, 66 RT. Jumlah penduduknya masih belum pasti, namun pak Wahyudi memperkirakan penduduk tetap di kelurahannya adalah 23 ribu jiwa, dengan jumlah KK 6500. Penduduk di kelurahan ini bervariasi, mulai dari Melayu Jambi, Jawa, Batak, Padang, minang, Palembang dan suku-suku lainnya. Pekerjaan penduduk adalah rata-rata petani kebun, ada juga sebagai karyawan perusahaan atau pedagang. Kelurahan ini sudah terbilang maju, fasilitas umum, bank, sekolah dan sarana transportasi sudah ada. Hanya listrik dan air yang dirasa masih menjadi permasalahan di kelurahan ini.

Tak terasa aku sudah berada di ujung pasar, kulihat sekitar 5 meter ke depan ada tulisan Jual Mie Ayam/Bakso. Kuputuskan untuk mewawancarai toko tersebut, sengaja kupilih toko serupa dengan yang awal agar dapat menjadi data pembanding.
Seperti biasa aku menjalankan prosedur wawancara ala Andreas Harsono. Memperkenalkan diri, mejelaskan tujuan dan menanyakan kepada yang diwawancarai tentang apa yang ia ingin tahu dari saya.
“Mas tolong nama saya jangan ditulis ya..”
“Oh… baiklah kalau itu mau Ibu, percayalah saya akan merahasiakannya.”
Ia kemudian bercerita tentang keluhannya pada listrik dan air. Hampir sama dengan mbak Eti, ibu yang berumur 40 tahun ini sangat merindukan listrik agar usahnya lancar. Ia berperawakan tinggi, berasal dari Jawa Timur, rambut panjang dan lurus, memakai daster warna kuning pucat, sambil duduk di kursi ia menjawab pertanyaan-pertanyaan saya dengan sopan.
“Saya bayar listrik PLTD untuk malam hari perbulan Rp. 700.000 mas, siang hari kami menghidupkan Genset, rata-rata perhari Rp. 15.000. Belum lagi air mas, kami biasanya membayar Rp. 500.000.
“Tapi jualannya laris kan bu?”
“Laris sih laris mas, tapi kalau pengeluaran sebanyak itu ya sama juga bohong mas.”
“kan ada Bupati baru bu, katanya 100 hari program kerjanya akan memasang instalasi listrik dan air?”
“mudah-mudahan lah mas, jago saya kemarin kalah, sekarang ya pasrah aja mas sama pemerintah.”
“Harapan ibu selain listrik dan air?”
Gak ada, Listrik itu lah mas? Selain agar usaha saya lancar, ya paling tidak saya bisa nonton acara Gossip pagi di TV mas…. Biar gak stress. Bosan lihat berita kerusuhan terus.”

Aku terkejut dengan pengakuan polosnya, ternyata acara gossip pagi di televise sangat diminati warga. Aku kembali teringat dengan kata-kata mbak Eti penjaul bakso:
“Syahrini pasti sudah punya anak dengan Anang, mereka jadi nikah kan om?”
“Untuk nonton Syahrini aja, kami harus bayar Rp. 300.000 lagi om….”

Sei. Tapah, Jum’at, 18 Februari 2011
Contoh FUTURE....

oleh Dion Eprijum Ginanto
Arkki - School of Architecture for Children and Youth

Arkki - School of Architecture for Children and Youth

February 16, 2011 Add Comment
When I was a little kid I was certain I wanted to be an architect when I grew up. I was a Lego maniac and spent summers building forts, dams and lean-to's. My favourite book was House By Mouse, and my sketchbooks were filled with rudimentary floor plans (seriously). My parents thought that all this was very cute and precocious. But had I grown up in contemporary Finland, I apparently would have
Kids Love Reading and Libraries

Kids Love Reading and Libraries

February 11, 2011 Add Comment
[Note: I'm running 3 blogs right now including this one, and as a result have been spreading myself - and my posts - a bit thin. I've therefore decided to repost the following, which I originally wrote for one of my course blogs (which you can access directly here). Since my analytics tell me very few of my readers are actually reading both blogs, I'm hoping that this will be useful, rather than