Mahkamah Konstitusi : Sengketa Kewenangan Lembaga Negara Yang Kewenangannya Diberikan Oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

June 24, 2019
Salah satu kewenangan Mahkamah Konstitusi adalah memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 atau disebut dengan kewenangan konstitusional. Kewenangan konstitusional lembaga negara merupakan kewenangan yang diberikan kepada suatu lembaga negara yang dapat berupa wewenang atau hak dan tugas atau kewajiban suatu lembaga negara yang diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Sedangkan yang dimaksud dengan sengketa kewenangan tersebut adalah perselisihan atau perbedaan pendapat yang berkaitan dengan pelaksanaan kewenangan antara dua atau lebih lembaga negara.

Pemohon dan Termohon. Yang dimaksud dengan pemohon dan termohon dalam sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang diajukan ke Mahkamah Konstitusi, yaitu : 
  • Pemohon adalah lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang mempunyai kepentingan langsung terhadap kewenangan yang dipersengketakan. Atau dengan kata lain, pemohon adalah lembaga negara yang menganggap kewenangan konstitusionalnya diambil, dikurangi, dihalangi, diabaikan, dan/atau ditugikan oleh lembaga negara yang lain, dan pemohon harus mempunyai kepentingan langsung terhadap kewenangan yang dipersengketakan.
  • Termohon adalah lembaga negara yang dianggap telah mengambil, mengurangi, menghalangi, mengabaikan, dan/atau merugikan pemohon.

Lembaga negara yang dapat menjadi pemohon atau termohon dalam perkara sengketa kewenangan konstitusional lembaga negara adalah sebagai berikut :
  • Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
  • Dewan Perwakilan Daerah (DPD).
  • Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR).
  • Presiden.
  • Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
  • Pemerintah Daerah (Pemda).
  • Lembaga negara lain yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Pemohon dan/atau termohon dapat didampingi atau diwakili oleh kuasa hukumnya berdasarkan surat kuasa khusus untuk itu. Sedangkan dalam hal pemohon dan/atau termohon didampingi oleh selain kuasanya, pemohon dan/atau termohon harus membuat surat keterangan yang khusus untuk itu. Surat kuasa khusus dan surat keterangan khusus tersebut harus ditunjukkan dan diserahkan kepada majelis hakim konstitusi dalam persidangan.

Permohonan dan Tata Cara Pengajuan. Permohonan yang diajukan oleh pemohon ditulis dalam  bahasa Indonesia, dan wajib menguraikan dengan jelas permohonannya tentang kepentingan langsung pemohon  dan menguraikan kewenangan yang dipersengketakan serta menyebutkan dengan jelas lembaga negara yang jadi termohon. Berikut uraian surat permohonan penyelesaian sengketa yang diajukan oleh pemohon :
  • identitas lembaga negara yang menjadi pemohon, meliputi nama lembaga negara, nama ketua lembaga negara, dan alamat lengkap lembaga negara.
  • nama dan alamat lengkap lembaga negara yang menjadi termohon.
  • uraian yang jelas tentang : kewenangan yang dipersengketakan, kepentingan langsung pemohon atas kewenangan tersebut, dan hal-hal yang diminta untuk diputuskan.

Permohonan yang diajukan ke Mahkamah Konstitusi tersebut dibuat dalam 12 rangkap dan ditanda-tangani oleh Presiden atau pimpinan lembaga negara yang mengajukan permohonan atau kuasanya. Selain dibuat dalam bentuk tertulis, permohonan dapat juga dibuat dalam format digital yang tersimpan secara elektronik dalam media penyimpanan berupa disket, cakram padat, atau yang sejenisnya. Permohonan sengketa kewenangan konstitusional lembaga negara diajukan tanpa dibebani biaya perkara.

Permohonan penyelesaian sengketa kewenangan konstitusional lembaga negara diajukan kepada Mahkamah Konstitusi melalui Kepaniteraan, disertai dengan alat-alat bukti pendukung berikut daftar saksi dan ahli yang akan diajukan dalam persidangan. Petugas kepaniteraan akan memeriksa kelengkapan administrasi permohonan beserta lampirannya.
  • Apabila permohonan belum lengkap, pemohon wajib melengkapi dalam waktu paling lambat 7 hari kerja sejak pemberitahuan kekuranglengkapan tersebut diterima oleh pemohon.
  • Apabila dalam waktu tersebut di atas, pemohonan yang diajukan belum lengkap juga maka panitera akan menerbitkan akta yang menyatakan bahwa permohonan tidak diregistrasi dan mengembalikan berkas permohonan kepada pemohon.
  • Dalam hal permohonan yang diajukan telah lengkap, maka panitera mencatat permohonan tersebut dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi, selanjutnya diterbitkan Akta Registrasi Perkara yang akan diberikan kepada pemohon.

Mahkamah Konstitusi menyampaikann permohonan yang sudah dicatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi tersebut kepada termohon dalam jangka waktu paling lama 7 hari kerja sejak permohonan dicatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi.

Pemohon dapat menarik kembali permohonannya sebelum atau selama pemeriksaan dilakkukan dengan mengajukan permohonan penarikan kembali secara tertulis. Penarikan kembali permohonan tersebut berakibat permohonan tidak dapat diajukan kembali oleh pemohon, kecuali dalam hal :
  • substansi sengketa memerlukan penyelesaian secara konstitusional.
  • tidak terdapat forum lain untuk menyelesaikan sengketa dimaksud.
  • adanya kepentingan umum yang memerlukan kepastian hukum.

Putusan Sela. Putusan sela dapat dijatuhkan atas permintaan pemohon dengan disertai alasan-alasan yang jelas. Jika dipandang perlu, majelis hakim konstitusi dapat menetapkan putusan sela demi kepentingan hukum. 

Setelah pemeriksaan pendahuluan, Mahkamah Konstitusi dapat mengeluarkan putusan sela yang memerintahkan kepada pemohon dan/atau termohon untuk menghentikan sementara pelaksanaan kewenangan yang dipersengketakan sampai ada putusan dari Mahkamah Konstitusi. Putusan sela dimaksud dapat dijatuhkan apabila :
  • terdapat kepentingan hukum yang mendesak yang apabila pokok permohonan dikabulkan dapat menimbulkan akibat hukum yang lebih serius.
  • kewenangan yang dipersoalkan itu bukan merupakan pelaksanaan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.

Pembuktian. Beban pembuktian berada pada pihak pemohon. Dalam hal terdapat alasan yang cukup kuat, majelis hakim konstitusi dapat membebankan pembuktian kepada pihak termohon. Selain itu, majelis hakim konstitusi dapat eminta pihak terkait untuk memberikan keterangan dan/atau mengajukan alat bukti lainnya. Alat bukti yang bisa diajukan oleh pemohon, termohon, maupun pihak terkait langsung dapat berupa : 
  • surat atau tulisan, yang harus dapat dipertanggungjawabkan perolehannya secara sah menurut hukum.
  • keterangan saksi. 
  • keterangan ahli. 
  • keterangan para pihak. 
  • alat bukti lain berupa informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu.
Penentuan sah atau tidak sahnya alat bukti dan perolehannya dilakukan oleh majelis hakim konstitusi dalam persidangan pleno atau panel.

Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH). RPH dipimpin oleh Ketua Mahkamah Konstitusi. Apabila ketua berhalangan, RPH dipimpin oleh Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi. Sedangkan apabila ketua dan wakil ketua berhalangan, maka RPH dipimpin oleh Ketua Sementara yang dipilih dari dan oleh hakim. RPH dilakukan secara tertutup dan rahasia. 

Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH) diselenggarakan untuk :

1. Mengambil Keputusan.
RPH yang diselenggarakan untuk mengambil keputusan dihadiri sekurang-kurangnya 7 orang hakim konstitusi, dan setiap hakim wajib menyampaikan pendapat hukum secara tertulis. Pendapat hukum tersebut merupakan bagian dari berkas asli yang bersifat rahasia dan dihimpun oleh panitera sebelum perancangan putusan. Pengambilan keputusan dilakukan dengan musyawarah untuk mufakat.
  • dalam hal musyawarah untuk mufakat tidak tercapai, maka pengambilan keputusan dilakukan dengan suara terbanyak.
  • apabila pengambilan keputusan dengan suara terbanyak tidak tercapai maka suara terakhir ketua sidang RPH menentukan.
Dalam RPH apabila pengambilan keputusan akhir tidak mencapai mufakat, maka pendapat yang berbeda (dissenting opinion) ataupun alasan yang berbeda (concurring opinion) dimuat dalam putusan.  

2. Tujuan Lain.
RPH yang diselenggarakan untuk tujuan lain, diantaranya diskusi curah pendapat (brain storming) dan perancangan (drafting) putusan setelah musyawarah. RPH yang diselenggarakan untuk tujuan lain tidak memerlukan persyaratan kuorum.

Putusan Mahkamah Konstitusi.  Putusan akhir diambil dalam RPH yang khusus diadakan untuk itu dan dihadiri oleh sekurang-kurangnya 7 orang hakim konstitusi. Putusan diucapkan dalam sidang pleno yang terbuka untuk umum dan dihadiri oleh sekurang-kurangnya 7 orang hakim konstitusi. Putusan yang diambil oleh majelis hakim konstitusi bersifat final dan mengikat.

Putusan diambil berdasarkan ketentuan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menurut keyakinan hakim dengan didukung sekurang-kurangnya 2 alat bukti. Putusan yang diambil wajib memuat fakta yang terungkap dalam persidangan dan pertimbangan hukum yang menjadi dasar putusan.

Putusan harus memuat sekurang-kurangnya :
  • kepala putusan (titel eksekutorial) berbunyi : "DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA".
  • identitas pemohon dan termohon.
  • ringkasan permohonan.
  • ringkasan keterangan dan/atau tanggapan termohon.
  • pertimbanngan terhadap fakta yang terungkap dalam persidangan.
  • pertimbangan hukum yang menjadi dasar putusan.
  • amar putusan.
  • pendapat berbeda atau alasan berbeda dari hakim konstitusi.
  • hari dan tanggal putusan, nama dan tanda tangan hakim, serta panitera.

Mahkamah Konstitusi dapat mengeluarkan penetapan yang memerintahkan pada pemohon dan/atau termohon untuk menghentikan sementara pelaksanaan kewenangan yang dipersengketakan sampai ada putusan Mahkamah Konstitusi.
  • Yang dimaksud dengan pelaksanaan kewenangan adalah tindakan, baik tindakan nyata maupun tindakan hukum yang merupakan pelaksanaan kewenangan yang dipersengketakan . 
Dalam mengeluarkan penetapan Mahkamah Konstitusi mempertimbangkan dampak yang ditimbulkan oleh pelaksanaan kewenangan yang dipersengketakan tersebut.

Amar Putusan. Amar putusan dapat menyatakan  :
  • permohonan tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard) .
  • permohonan dikabulkan.
  • permohonan ditolak.

Dalam hal Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa :
  • pemohon dan/atau permohonannya tidak memenuhi syarat, yaitu pemohon bukan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, maka amar putusannya menyatakan permohonan tidak dapat diterima. 
  • permohonan beralasan, maka amar putusan menyatakan permohonan dikabulkan. Apabila  permohonan dikabulkan, Mahkamah Konstitusi menyatakan dengan tegas bahwa termohon tidak mempunyai kewenangan untuk melaksanakan kewenangan yang dipersengketakan.
  • permohonan tidak beralasan, amar putusan menyatakan permohonan ditolak.

Pelaksanaan Putusan. Putusan Mahkamah Konstitusi yang amar putusannya menyatakan bahwa termohon tidak mempunyai kewenangan untuk melaksanakan kewenangan yang dipersengketakan, termohon wajib melaksanakan putusan tersebut dalam jangka waktu paling lambat 7 hari kerja sejak putusan diterima. Jika putusan tersebut tidak dilaksanakan dalam jangka waktu sebagaimana tersebut di atas, pelaksanaan kewenangan termohon batal demi hukum.

Putusan Mahkamah Konstitusi mengenai sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tersebut disampaikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Presiden. Mahkamah Agung tidak dapat menjadi pihak dalam sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pada Mahkamah Konstitusi.

Semoga bermanfaat.

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »