Diskriminasi atas Nama Agama di Sekolah

February 21, 2019

“Mister, di mana saya dapat memperoleh soal ujian Agama?” Saya yang kebetulan menjadi penitia ujian semester heran dan malah kembali bertanya, “Loh, kan kami sudah berikan secara lengkap sesuai jumlah daftar hadir, apa masih kurang?”
            “Bukan Sir, agama saya Kristen, tapi yang ada hanya soal Agama Islam.”
            “Astaghfirullahalazim,…” saya pucat pasi. “Sebentar nak, saya cek dulu.” Setelah bertanya pada ketua dan sektretaris panitia, ternyata soal untuk siswa agama Kristen belum sampai. Masih dalam perjalanan dibawa oleh Bapak Pastur.  Rasa bersalahpun menggeluti hati. Betapa siswa non-Muslim di sekolah saat itu harus tersela konsentrasinya karena soal belum tiba. Belum lagi, mereka harus kehilangan banyak waktu atas keterlambatan soal. Dalam hati saya bergumam, hal ini tidak akan terjadi apabila siswa beragama Kristen mempunyai guru PNS di sekolah, sebagaimana siswa Agama Islam yang memiliki tiga guru Pendidikan Agama Islam.
            Belum lagi disaat teman-teman Muslim bercengkrama dengan keluarga di rumah selepas solat Jumat, mereka masih harus mencari jam tambahan untuk belajar Agama. Pun mereka harus belajar di Gereja, bukan di dalam kelas, bukan di sekolah. Diajar oleh Pastur atau Pendeta, bukan guru abdi negara. Kenapa mereka harus menjadi beda? Mengapa pemerintah tidak mengangkat satu atau dua guru PNS yang bertugas mengajar di kabupaten, jika satu guru per-satu sekolah dirasa tidak memungkinkan?
Masih ada beberapa praktek “diskriminasi” lain kepada siswa non-muslim di sekolah. Dalam prosesi berdoa pagi misalnya, meski sudah SMA, banyak pelajar masih sering berdoa dengan melafazkan surah Alfatihahdengan suara nyaring seperti layaknya siswa Sekolah Dasar. Sehingga yang beragama non-Muslim, mau tidak mau mengikuti membaca surah Alfatihah atau sekedar menyimak doa yang tidak mereka kenal. Atau, pada saat upacara hari Senin, siswa non-Muslim harus mengikuti doa dalam bahasa Arab (tanpa ada terjemahan bahasa Indonesia), sebelum upacara pengibaran bendera selesai. Belum lagi serangan verbal atau perlakuan yang tidak sama yang sering diterima oleh siswa yang berbeda agama.
Bentuk-bentuk diskriminasi atas nama agama di sekolah adalah bentuk ketidakadilan yang dipertontonkan di sekolah. Tempat di mana ilmu dan pengalaman di tempa dan ditimba. Apalagi, saya juga beberapa kali membaca informasi dari koran nasional, bahwa siswa-siswi Muslim di Bali, NTT, Ambon, dan Papua kurang lebih mempunyai pengalaman yang serupa yang dirasakan oleh anak-anak di sekolah kami yang non-muslim. Bahkan pernah beberapa kali saya baca dari berita baik cetak, online, maupun elektronik, bahwa siswi di Bali dilarang mengenakan hijab di sekolah. Hal ini jelas, bahwa diskriminasi antara mayoritas ke minoritas masih terjadi di Indonesia terutama di tingkat sekolah.
Sebenarnya berdasarkan pengamatan yang saya lakukan baik dari sekolah-sekolah yang pernah saya ajar, atau dari berita dari media masa, saya dapat menarik kesimpulan bahwa sebenarnya diskriminasi yang terjadi bukanlah diskriminasi Islam terhadap Kristen, atau Hindu terhadap Islam, atau Kristen terhadap Islam. Akan tetapi lebih kepada Mayoritas mendapatkan privilegeatau hak istimewa terhadap minoritas (Seifert, 2007). Sebenarnya tidak salah, namun privilege terkadang disalah gunakan. Sehingga timbul kesan diskriminasi terhadap siswa Muslim terhadap Non-Muslim, atau Non-Muslim terhadap Muslim. Begitu juga dengan yang di Bali, atas nama keseragaman, siswi disarankan untuk tidak mengenakan hijab. Padahal, mengenakan hijab adalah bagian dari praktek ibadah umat Islam.
Bukankah dasar negara kita adalah PANCASILA. Bahwa setiap warga negara harus mendapatkan keadilan sosial. Diskriminasi atas nama agama jika dibiarkan akan menjadi bongkahan es yang lama kelamaan akan membesar dan membesar yang akan membahayakan persatuan dan kesatuan Bangsa Indonesia. Apalagi yang mendapat perlakuan tidak sama adalah generasi muda yang kelak akan memegang estafet pembangunan Bangsa dan Negara Indonesia. Lantas, akankah mereka dapat memimpin dengan adil, jika di dalam memori mereka tertanam suatu praktek kesenjangan yang tidak akan pernah hilang dari memori mereka.
Lalu masih perlukah siswa SMA berdoa di pagi hari dengan suara keras seperti siswa Sekolah Dasar, padahal sudah barang tentu seluruh siswa hafal dengan surat Al-fatihah? Atau haruskah membaca doa pada saat upacara bendera dengan bahasa Arab tanpa translasi bahasa Indonesia? Kemudian, tidakkah pemerintah peka untuk juga mengangkat guru Agama Non-Muslim, setidaknya satu guru di satu kabupaten? Atau haruskah sekolah melarang siswa memakai jilbab demi keseragaman? Jika Bhineka Tunggal Ika masih menjadi motto pemersatu Bangsa, haruskah dengan mengatas namakan agama kita perlakukan beda generasi muda Indonesia?
Pendidikan karakter hendaknya mencakup pada pemberian hak yang sama pada seluruh entitas di sekolah. Mayoritas tak perlu melulu menuntut privilege yang lebih. Sebagai mayoritas; guru, kepala sekolah, dan siswa harus bahu membahu agar siswa minoritas tidak merasa ditinggalkan. Sebagai mayoritas guru dan siswa harus dapat bahu membahu agar hak minoritas terpenuhi. Revolusi mental hendakanya bukan hanya sekedar retorika, namun harus dapat diejawantahkan dalam kehidupan terutama pada kehidupan sekolah yang dinamis. Hal ini penting, agar bola salju diskiriminasi atas nama agama tak lagi membesar dan mengoyak persatuan dan kesatuan Bangsa Indonesia. Terakhir, siswa berhak mendapat pengajaran Agama dari guru yang se-Agama dengan mereka. Sebagaimana yang disebutkan oleh Parker (2010), bahwa harus ada guru Muslim untuk siswa Muslim, guru Hindu untuk siswa Hindu, guru Katolik untuk siswa Katolik, dll.


Share this

Related Posts

Previous
Next Post »