Ukuran keberhasilan nyata sebuah sekolah adalah prestasi siswa atau student achievement. Ini adalah muara dari segala visi dan misi yang di buat oleh sekolah. Sekali lagi, muara dari muara adalah Student Acvievement. Ini diartikan bahwa siswa mempunyai pemahaman academik muapun non-akademik yang nantinya dapat digunakan untuk bekal hidup peserta didik sekembalinya di masyarakat. Dapat juga disimplifikasi dengan banyaknya peserta didik yang diterima di perguruan tinggi bagi lulusan SMA/MA. Atau banyaknya siswa yang menjuarai event-event tingkat propinsi atau nasional. Atau terlahir pengusaha-pengusaha baru untuk siswa SMK. Atau banyaknya siswa yang melanjutkan ke jenjang selanjutnya untuk pelajar SD dan SMP. Atau nilai rata-rata siswa yang merata, dengan kata lain tidak adanya gap yang terlalu jauh antara siswa dengan nilai tertinggi dan nilai terendah. Atau yang tidak kalah penting lulusan mampu melestarikan norma-norma atau budaya yang berlaku di lingkungan peserta didik.
Sekolah adalah lembaga penyedia/penjual jasa, sedangkan siswa dan orang tua adalah kustemernya. Sehingga keberhasilan siswa adalah tujuan akhir dari sebuah sekolah. Sebagai penyedia jasa, guru dan kepala sekolah adalah yang paling bertanggung jawab dalam memberikan jaminan bahwa siswa-siswi di sekolah mendapatkan sesuatu yang seharusnya siswa/siswi dapatkan.
Namun fakta di lapangan terkadang berkata sebaliknya. Masih banyak oknum guru (terutama guru Aparatur Sipil Negara-ASN) yang “maaf” belum menginternalisasi tugasnya dengan baik. Masih banyak oknum guru yang datang ke sekolah hanya sekedar menggugurkan kewajiban hariannya saja. Guru datang, mengabsen siswa, mengajar seadanya, perkara siswa/i paham atau tidak itu urusan belakangan. Ada pula oknum guru yang mengajar dari 10 tahun yang lalu hingga sekarang tidak berubah, memakai buku yang sama, pendekatan yang sama, metode yang sama, sehingga siswa cenderung tidak dirangsang kreatifitasnya untuk menyelesaikan masalah kekinian. Pada kasus yang lain, oknum guru hanya sekedar datang ke sekolah dan memberikan catatan atau tugas dari Lembar Kerja Siswa (LKS), setelah itu sang oknum guru kembali untuk ngerumpi di kantor. Tak sedikit pula oknum guru pada saat mengajar di kelas malah membuat update status di sosial media. Hal ini terjadi salah satunya dikarenakan kurangnya proses pengawasan, bimbingan, serta pengembangan diri guru.
Lalu, siapakah sebenarnya yang mempunyai tugas mulia untuk menjamin kinerja guru di sekolah? Siapakah panglima tertinggi yang memberikan quality assurance terhadap kepuasan siswa dan orangtua. Siapakah yang seharunya berdiri di garda terdepan dalam proses Kegiatan Belajar Mengajar (KBM) sehingga dapat mendogkrak pemahaman dan prestasi peserta didik? Siapakah Jendral pengajaran itu? Jawabanya adalah KEPALA SEKOLAH.
Selama ini Kepala Sekolah hanya menitik beratkan pada fungsi manajerial saja. Kepala sekolah masih berkutat pada rapat harian atau bulanan, berurusan dengan surat menyurat, mebuat lobi-lobian pada stake holders, menerima tamu, dan mengawasi kedisiplinan siswa dan guru. Namun tugas yang tak kalah penting dari sekedar mengerus administrasi adalah sebagai LEADER dalam proses BELAJAR MENGAJAR. Kepala sekolah harus dapat menjadi Jendral lapangan yang mengetahui apa yang dilakukan oleh guru di dalam kelas. Kepala sekolah juga sebgai Jendral lapangan yang mampu menginspirasi para guru untuk berkolaborasi dan berinovasi. Kepala sekolah adalah Jendral Lapangan yang dapat membangkitkan semangat guru untuk minimal satu bulan sekali melakukan pengembangan diri. Bukan hanya disibukkan pada rutinitas adminsitrasi.
To Ensure that Students are Taught atau To ensure that Students Learn?
Pada suatu waktu, saya mengisi sebuah pelatihan kepemimpinan kepala sekolah yang diadakan oleh Dinas Pendidikan Provinsi Jambi. Dalam pelatihan tersebut saya memberikan pertanyaan survey yang responnya dapat langsung ditayangkan di depan kelas. Pertanyaan tersebut adalah, mana yang lebih penting: “Untuk memastikan bahwa siswa diajar guru atau Memastikan bahwa siswa belajar.” Mayoritas jawaban dari kepala sekolah saat itu adalah to ensure that students are taught atau memastikan bahwa siswa diajar oleh guru.
Saya tidak dapat menyalahkan jawaban dari Kepala Sekolah yang saat itu ikut pelatihan. Karena beginilah kondisi pendidikan yang mayoritas terjadi di negeri kita. Saat ini kita masih pada tataran untuk memastikan bahwa guru dapat datang ke sekolah untuk mengajar. Atau yang lebih sedikit disiplin, kepala sekolah memastikan bahwa guru tidak terlambat dalam mengajar. Fenomena ini terjadi bukan hanya di sekolah yang berada di pinggiran kota, pada banyak kasus khususnya di sekolah negeri, kepala sekolah di kota masih dipusingkan dengan tingkat kehadiran dan kedisiplinan guru.
Padahal harapan dari orangtua sebagai konsumen utama pada sekolah adalah putra-putrinya dapat mempelajari sesuatu sepulang dari sekolah. Namun fakta di lapangan berkata berbeda. OECD (Organization for Economic Cooperation and Development), sebuah Lembaga internasional yang mempunyai fokus untuk peningkatan kerjasama dalam pengembangan ekonomi dan perdagangan dunia, melakukan penelitian di Indonesia terkait kehadiran guru di kelas/sekolah. Dari penelitian OECD yang dilakukan pada tahun 2015 terungkap bahwa satu dari sepuluh guru di Indonesia mangkir saat semestinya di kelas. Padahal seharusnya, jika kita ingin mengejar ketertinggalan kualitas pendidikan, kita tidak boleh lagi dipusingkan dengan tingkat kehadiran guru. Tak boleh lagi kepala sekolah dipusingkan dengan guru yang menghilang saat jam pelajaran, atau guru yang sengaja tidak masuk di kelas. Harusnya kita saat ini berada pada tataran pada narasi kualitas guru.
Saya sangat sependapat dengan Bapak Anies Baswedan, mantan Menteri Pendikikan Nasional yang mengatakan bahwa negara kita tak boleh lagi berkompromi dengan kualitas guru (CNNIndonesia, 2015). Benar dahulu kita masih berkompromi, karena saat itu kita masih mengejar kuantitas. Saat ini Indonesia seyogyanya tidak sedang kekurangan jumlah guru. Penelitian DelGranado et al (2015) menyebutkan bahwa jika guru di Indonesia dapat didistibusikan dengan merata, maka rasio guru dan siswa di negara kita dapat menjadi nomor satu di dunia yaitu 1:16 (satu guru mengajar enam belas siswa). Jika demikian, idealnya, kepala sekolah saat ini harus dapat memastikan bahwa siswa dapat mempelajari sesuatu, memahami sesuatu, dan menemukan hal baru dari proses pembelajaran di sekolah. Dengan demikian, guru yang mengajar di dalam kelas harusnya mempunyai kompetensi dalam mendidik dan menginspirasi.
Untuk memastikan bahwa siswa mempelajari sesuatu di kelas, tentu kepala sekolah sebagai penanggung jawab proses belajar mengajar yang efektif dan efisien dituntut untuk dapat setidaknya melakukan pengembangan kompetensi guru dan evaluasi guru di sekolah. Jika dua hal ini dapat dimonitor dan dilaksanakan dengan baik, maka tingkat ketercapaian target keberhasilan siswa dapat diraih dengan lebih mudah.
Yang pertama adalah pengembangan komptensi guru. Saat ini setidaknya baru ada dua sarana pengembangan komptensi guru yang dilakukan secara bersama-sama yaitu MGMP (Musyawarah Guru Mata Pelajaran) dan Pendikan dan Latihan (Diklat) yang diadakan oleh Dinas Pendidikan di tingkat kabupaten dan/atau provinsi. MGMP dirasa masih kurang dalam upaya pengingkatan komptensi guru, karena MGMP dalam prakteknya lebih sering membahas dokumen pengajaran seperti silabus dan RPP (Rencana Pelaksanaan Pembelajaran). Sedangkan Diklat di tingkat kabupaten atau provinsi, biasanya hanya diikuti oleh beberapa guru saja, dan biasanya dari tahun ke tahun guru yang dikirim adalah guru yang sebelumnya pernah mengikuti diklat. Bahkan ada sampai ada sebutan guru spesialis diklat.
Semestinya pelatihan guru itu dilaksakan minimal satu bulan sekali dan dilakukan di tingkat sekolah, atau sering disebut PLC (Professional Learning Community). Pelatihan rutin ini dapat dilakukan pada guru serumpun dengan membahas teknik pengajaran, metode pengajaran, atau pendekatan pengajaran yang sekiranya dapat merangsang kreativitas dan inovasi siswa dalam penyelesaian suatu masalah atau penemuan hal-hal baru. Pelatihan di tingkat sekolah ini tidak boleh lagi membahas Silabus yang sudah dibuat dalam Peraturan Menteri. Atau membahas RPP yang semestinya dapat dibuat oleh masing-masing guru dari turunan silabus. Pengembangan diri guru harus go beyond portfolio (lebih dari sekedar portfolio). Pelatihan rutin ini tentu akan sangat murah, karena yang menjadi fasilitator adalah guru yang bergiliran memimpin proses pembelajaran. PLC juga dapat mengakomodir seluruh guru di setiap satuan pendidikan. Konsep semua guru adalah pembelajar akan sangat terasa, karena dalam konsep PLC guru harus mampu belajar dari guru yang lain. Dengan PLC pengembangan diri secara pribadi pun akan terdongkrak, karena guru dituntut untuk membaca lebih dan belajar lebih.
Proses yang tak kalah penting dari seorang Instructional Leader atau Jendral Pengajaran adalah memberikan evaluasi pada guru. Selama ini evaluasi guru hanya sebatas evaluasi di atas kertas. Masih sedikit kepala sekolah yang memberikan refleksi dan evaluasi dari proses observasi di dalam kelas. Kepala sekolah yang sekali-kali ikut masuk ke dalam kelas, untuk melihat proses belajar mengajar masih dapat dihitung jari. Belum banyak kepala sekolah yang melakukan pertemuan 1:1 (atau pertemuan empat mata) untuk memberikan refleksi atas kinerja guru dalam melakukan proses kegiatan belajar mengajar. Akibatnya, guru merasa sendirian dan terkadang idak tahu harus melakukan apa. Padahal andai saja kepala sekolah dapat menjadwalkan pertemuan empat mata pada setiap guru dalam satu bulan sekali, maka saya yakin setidaknya ada semangat baru dan ruh baru yang didapat oleh guru.
Jendral pengajaran itu bernama kepala sekolah. Sehingga, seorang Jendral dituntut untuk tidak hanya menerima laporan tertulis dari bawahannya. Seorang Jendral, harus berani meluangkan waktu untuk turun ke lapangan. Seorang Jendral harus bersedia membuat anggaran agar guru selalu terupdate wawasannya. Seorang Jendral harus bersedia turun langung membina guru-guru dalam bekerjasama. Seorang Jendral harus menginspirasi setiap individu guru untuk mengembangkan diri. Seorang Jendral harus mampu memotivasi guru dalam malakukan pelatihan berkesinambungan yang dilakukan di sekolah minimal satu kali dalam satu bulan. Bravo Kepala Sekolah!!!
EmoticonEmoticon