Pemerintah berkomitmen mencegah tindak pidana korupsi melalui Perpres 54/2018 tentang Strategi Nasional Pencegahan Korupsi. Dengan demikian maka terbentuklah Timnas Pencegahan Korupsi. Namun tidak menghilangkan peran KPK. Justru peran KPK, pencegahan korupsi akan semakin efektif. Ada empat pokok dalam Perpres itu yaitu tataniaga dan perizinan, keuangan negara, reformasi dan birokrasi, serta penegakan hukum. Salah satu yang bisa menyasar kepada kajahatan korporasi adalah tata niaga, perizinan dan keuangan negara. Adanya Perpres ini maka pencegahan terhadap kasus korupsi korporasi menjadi babak baru sepanjang sejarah pemberantasan korupsi di Indonesia. Ini semakin membuktikan bahwa pemberatasan korupsi memang di design secara menyeluruh, namun tidak mudah. Karena masalah politik yang suka tidak suka bersinggungan dengan bisnis. Makanya jangan kaget bila Perpres ini yang sudah dirintis dari tahun 2016, baru rampung pada Juli tahun ini. Butuh 2 tahun untuk bisa di tanda tangani.
Bagaimana dampaknya terhadap kasus kasus yang sudah di tangani KPK yang bersinggungan dengan korporasi ? Kemungkinan setelah kasusnya diputuskan Hakim Tipikor akan menyasar kepada pihak korporasi/ Swasta. Dari teman lawyer, saya dengar bahwa salah satu direktur BUMN tersangkut kasus lelang proyek Pembangunan Rumah Sakit Khusus Infeksi dan Pariwisata Universitas Udayana. Padahal kasus ini terjadi tahun 2009. Dan dia bukan pelaku karena BUMN bukan sebagai pemenang lelang tetapi hanya sebagai sub kontraktor dari pemenang lelang. Secara hukum tentu yang bertanggung jawab adalah main kontraktor. Siapa main kontraktornya ? PT Duta Graha Indah Tbk (DGI). Namun dengan adanya Perpres 54/2018 maka pihak lain yang tersangkut kasus ini secara tidak langsung seperti konspirasi dapat di usut oleh KPK. Nah perhatikan kronologis kasusnya.
Pada awal 2009 bertempat di kantor Anugerah Group, Dudung Purwadi selaku direktur utama PT DGI menghadiri pertemuan atas undangan Muhammad Nazarudin ( salah satu Elite Partai Demokrat ). Pertemuan dihadiri juga oleh perwakilan beberapa badan usaha milik negara bidang konstruksi di antaranya PT Adhi Karya, PT Pembangunan Perumahan, Waskita Karya, dan PT Nindya Karya. Dalam pertemuan tersebut, Nazaruddin menyampaikan bahwa Anugerah Group sedang berupaya mendapatkan anggaran untuk beberapa proyek konstruksi di DPR guna dibagikan kepada perusahaan-perusahaan yang hadir. Nazaruddin meminta BUMN dan PT DGI nantinya saling membantu dalam proses pelelangan sejumlah proyek. Artinya apabila salah satu perusahaan sudah diarahkan menjadi pemenang, maka perusahaan lain harus bersedia menjadi pendamping lelang, dan begitu juga sebaliknya. Ya semacam konspirasi lendir untuk menjarah uang negara lewat proyek APBN. Bagaimana tidak. PT NKE bersama M Nazar, Made Meregawa selaku pejabat pembuat komitmen (PPK) dan Dudung Purwadi selaku Dirut PT NKE mengatur proses lelang untuk memenangkan PT NKE. Nah, Dalam kesepakatan, pihak Anugerah Group yang akan atur proses lelang harus diberikan fee sebesar 15 persen dari nilai biaya riil proyek. Hebat kan.
Modus konspirasi juga dilakukan oleh PT NKE/DGI pada proyek penyedia barang dan atau jasa atas beberapa proyek pembangunan lain, diantaranya yaitu, Proyek Gedung Wisma Atlet Jakabaring di Palembang, dengan jumlah keuntungan Rp42,71 miliar. Proyek Gedung Rumah Sakit Pendidikan Universitas Mataram, Provinsi NTB, yang jumlah keuntungan mencapai Rp23, 9 miliar. Proyek pembangunan Gedung Balai Pendidikan dan Pelatihan Ilmu Pelayaran (BP2IP) Surabaya, Provinsi Jawa Timur, dengan jumlah keuntungan Rp 44,536 miliar. Proyek Gedung RSUD Sungai Dareh di Dharmasraya, Provinsi Sumatera Barat, dengan jumlah keuntungan Rp20,5 miliar. Proyek Gedung Cardiac di RS Adam Malik Medan, dengan jumlah keuntungan Rp4 miliar, Proyek Gedung BP2IP Surabaya, Jawa Timur, dengan keuntungan Rp44,5 miliar. Proyek Paviliun RS Adam Malik Medan dengan jumlah keuntungan Rp2,16 miliar. Proyek Rumah Sakit Tropis Universitas Airlangga, Surabaya, pada 2009 dan 2010, dengan jumlah keuntungan Rp77,4 miliar.
Nah, bulan lalu, Jaksa Penuntut Umum (JPU) KPK telah menuntut PT Nusa Konstruksi Enjiniring Tbk (NKE), yang sebelumnya bernama PT Duta Graha Indah Tbk (DGI) dengan pidana denda Rp1 miliar dan membayar uang pengganti Rp188,7 miliar di pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). Kebetulan ketika kasus itu terjadi, Presiden Komisaris PT. Duta Graha Indah Tbk (DGI) adalah Sandiaga Uno. Tahun lalu Mei 2017, Sandi menjalani pemeriksaan sebagai saksi KPK untuk mantan Direktur Utama PT DGI, Dudung Purwadi. Dudung sendiri sudah mendekam di Rumah Tahanan Pomdam Jaya, Guntur, Setiabudi, Jaksel. Dia ditahan sejak 6 Maret 2017. Namun dalam kesaksian Sandi ini ada dua hal yang saya pertanyakan dan sekaligus saya kritisi ( semoga saya salah ).
Pertama, Sandi dengan tegas mengatakan bahwa sebagai komisaris DGI , dia tidak pernah ada laporan spesifik mengenai kinerja proyek. Tapi hanya dilaporkan sesuai dengan mekanisme korporasi sebagai perusahaan yang sudah go public. Ia pun mengaku tidak pernah menerima laporan soal keuntungan sebesar Rp49,010 miliar dari proyek tersebut. Tidak pernah dilaporkan dan tidak pernah mendapat persetujuan dari dia sebagai komisaris. Menurut saya agak aneh, bagaimana mungkin seorang pengusaha terpelajar seperti Sandi sampai tidak tahu jalannya perusahan. Apalagi perusahaan yang sudah go publik. Kan ada SOP antara Direksi dan Komisari, yang berkaitan laporan secara berkala tiga bulanan.
Menurut kesaksian dari Nazaruddin, negosiasi soal fee atas proyek tersebut dia bicarakan langsung kepada Sandiaga Uno. Tapi kesaksian dari Sandi dihadapan KPK dengan tegas mengatakan bahwa dia tidak pernah mengenal Muhammad Nazaruddin bendahara Partai Demokrat. Secara logika bisnis ,hampir semua negoasiasi soal fee dalam jumlah besar, tidak pernah direksi berani jalan sendiri apalagi perusahaan sudah go publik. Dan lagi Muhammad El Idris, Manajer Pemasaran PT DGI memberikan uang suap Rp 4,67 miliar agar menjadi pemenangan dalam proyek Wisma Atlet, pada saat persidangan waktu itu, tersiar hubungan Sandi dengan El Idris merupakan hubungan keponakan dan paman. Masak iya sih ponakan berani melawan paman?
Di lingkungan saya juga teman teman pengusaha,punya standar yang sama bahwa semua komitmen fee kepada rekanan konsultan harus sepengetahuan komisaris. Apalagi berkaitan dengan suap. Harus komisaris tahu. Mengapa ? karena tanggung jawab komisaris itu memastikan direksi menjalankan perusahaan dengan baik dan taat hukum. Kalau saya, jelas saya tolak. Pelanggaran soal suap adalah berhenti. Tidak ada istilah komisaris bisa mengelak tanggung jawab hukum. Mungkin hukum pidana bisa terhindar tapi hukum moral , habis itu. Artinya secara moral komisaris gagal mengelola direksi bekerja dengan baik. Sandi mengtakan bahwa “Saya menjelaskan secara rinci dan memberikan keyakinan bahwa kegiatan-kegiatan tersebut melanggar hukum dan tidak pernah dilaporkan atau mendapatkan persetujuan dari komisaris,” Pertanyaan nya mengapa Sandi tidak ajukan gugatan perdata terhadap Direksi tersebut kalau benar mereka melakukan perbuatan tanpa sepengetahuan dia. Mengapa tidak melaporkan kepolisi atas kasus perbuatan melanggar hukum yang dilakukan direksi ? Mengapa justru mengundurkan diri ? Jadi engga perlu orang hebat secara hukum untuk mengetahui kebenaran atas kesaksian dia. Namun ketika itu belum ada Perpres 54/2018 sehingga belum bisa di jadikan suspect pelanggaran hukum.
Kalau melihat kasus ini, keliatannya akan terus bergulir. Ini yang kedua kali Sandi jadi saksi. Dulu , petama tahun 2013, dan kemudian tahun 2017. Nah dengan Perpres 54/2018, kasus ini akan jadi ajang pertaruhan kredibilitas KPK dan TimNas Pencegahan Korupsi. Kita lihat nanti sejauh mana tajamnya pedang Perpres 54/2018 itu. Akankah KPK bisa memanggil Sandiaga Uno yang kini calon wakil presiden (Cawapres) untuk menjadi saksi dalam sebuah kasus korupsi korporasi, dan bukan tidak mungkin jadi tersangka?
EmoticonEmoticon