Sekilas Tentang Teori Negosiasi Wajah (Face Negotiation Theory)

August 09, 2019
Teori negosiasi wajah atau "face negotiation theory" merupakan teori gabungan antara penelitian komunikasi lintas budaya, konflik, dan kesantunan. Teori negosiasi wajah menyebutkan bahwa "wajah" sebagai fenomena universal yang meliputi seluruh budaya. Teori negosiasi wajah memberikan sebuah dasar untuk memperkirakan bagaimana manusia akan menyelesaikan konflik atau masalah berdasarkan wajah dalam suatu kebudayaan yang berbeda. Wajah dimaksudkan adalah mengacu pada "citra diri" seseorang di hadapan orang lain. Di mana hal tersebut melibatkan rasa hormat, kehormatan, kesetiaan, dan nilai-nilai lain yang semacam.

Teori negosiasi wajah digunakan untuk memahami bagaimana orang-orang dari budaya yang berbeda mengelola hubungan dan perbedaan pendapat. Sebagai contoh : 
  • dalam konflik, wajah seseorang yang terancam cenderung menyimpan atau mengembalikan wajahnya. Menurut teori negosiasi wajah, set perilaku komunikatif  seperti ini disebut dengan "facework". Facework dimaksud, antara budaya satu dengan budaya yang lain akan berbeda-beda. Sehingga teori ini menciptakan suatu kerangka budaya yang umum untuk memeriksa negosiasi facework. 

Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa wajah merupakan gambaran yang diinginkan atau citra diri orang lain yang berasal dari dalam dirinya dalam sebuah situasi sosial. Karya wajah merupakan perilaku komunikasi manusia yang digunakan untuk membangun dan melindungi wajah mereka serta untuk melindungi, membangun, dan mengancam wajah orang lain.

Teori negosiasi wajah menyelidiki hal-hal yang berkaitan dengan konflik antar budaya. Bahwa dapat dirasakan, konflik yang terjadi sebenarnya berkisar pada tiga masalah, yaitu :
  • konten konflik, yaitu mengacu pada isu-isu substantif eksternal untuk individu yang terlibat.
  • relasional konflik, yaitu mengacu pada bagaimana individu-individu mengartikan atau ingin mengartikan tertutama terhadap hal-hal yang berhubungan dengan konflik tertentu.
  • identitas konflik, yaitu mengacu pada masalah isu-isu dari isu-isu identitas konfirmasi penolakan, rasa hormat menghormati, serta persetujuan ketidaksetujuan. 
Dari hal tersebut, teori negosiasi wajah memandang konflik, khususnya konflik antar budaya, sebagai situasi yang menuntut manajemen "facework" yang aktif dari kedua pihak yang saling berkonflik.

Teori negosiasi wajah, pertama kali diusulkan oleh Penelope Brown dan Stephen Levinson tahun 1978 untuk memahami bagaimana orang-orang dari budaya yang berbeda mengelola hubungan dan perbedaan pendapat. Penelope Brown dan Stephen Levinson dalam teori ini, menyebutkan bahwa "wajah" merupakan sebuah metafora untuk citra diri, yang berasal dari dua konseptualisasi China, yaitu Lien dan Mien-tzu, di mana :
  • Lien, merupakan moral wajah internal yang melibatkan malu, integritas, kehinaan, dan kehormatan masalah.
  • Mien-tzu, merupakan sosial eksternal wajah yang melibatkan pengakuan sosial, posisi, otoritas, pengaruh, dan kekuasaan.
Teori negosiasi wajah dari Penelope Brown dan Stepen Levinson didasari oleh "teori kesantunan" yang mereka kemukakan. Mereka berpendapat bahwa orang akan menggunakan strategi kesantunan berdasarkan persepsi ancaman wajah, yang berupa dua kebutuhan universal, yaitu :
  • positive face (wajah positif), yaitu keinginan untuk disukai dan dikagumi oleh orang-orang penting dalam hidupnya.
  • negative face (wajah negatif), yaitu merujuk pada keinginan untuk memiliki otonomi dan tidak dikekang.

Selanjutnya, Erving Goffman juga melakukan penelitian tentang teori negosiasi wajah. Erving Goffman menempatkan "wajah" dalam penelitian kontemporer Barat. Ia menyebutkan bahwa wajah adalah pusat perhatian bagi salah satu gambar proyeksi yang bersifat langsung dan spontan serta terikat dengan dinamika interaksi sosial. Menurut Erving Goffman, "facework" menunjukkan  tindakan yang diambil untuk menjaga konsistensi antara diri dan barisan masyarakat.

Pemikiran tentang teori negosiasi wajah kemudian dikembangkan oleh Stella Ting Toomey pada tahun 1988, dengan mengkonsepkan "wajah" sebagai rasa sosial individu yang diklaim menguntungkan diri sendiri di dalam konteks rasional dan jaringan. Stella Ting Toomey mengartikan "facework" sebagai kelompok komunikatif perilaku yang digunakan untuk membuat wajah diri dan untuk mengapresiasi, menantang, atau mendukung orang lain. Selanjutnya Stella Ting Toomey menjelaskan bahawa budaya memberi bingkai interpretasi yang lebih besar di mana wajah dan gaya konflik dapat diekspresikan dan dipertahankan secara bermakna. Wajah merupakan perpanjangan dari konsep diri seseorang.

Wajah merupakan konsep yang universal. Kebutuhan akan wajah ada di dalam semua budaya, tetapi terdapat berbagai perbedaan yang merepresentasikan budaya masing-masing dan semua budaya tidak tidak mengelolan kebutuhan wajah tersebut secara sama. Stella Ting Toomey berpendapat bahwa wajah dapat diinterpretasikan dalam dua cara, yaitu :
  • Face concern atau kepedulian akan wajah, hal ini berkaitan dengan baik muka seseorang maupun muka orang lain. Dalam face concern, terdapat kepentingan diri sendiri dan kepentingan orang lain. 
  • Face need atau kebutuhan akan wajah, hal ini berkaitan dengan dikotomi keterlibatan. 

Wajah merupakan gambaran penting dalam kehidupan. Wajah juga merupakan sebuah metafora bagi citra diri yang diyakini melingkupi seluruh aspek kehidupan sosial. Penelitian Stella Ting Toomey tentang teori negosiasi wajah sangat dipengaruhi oleh teori kesantunan yang dikemukakan oleh Penelope Brown dan Stephen Levinson.

Semoga bermanfaat.

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »