Teori Negosiasi Wajah (Face Negotiation Theory) Stella Ting Toomey

August 22, 2019
Stella Ting Toomey, seorang profesor komunikasi dari California State University Fullerton,  merupakan ahli yang mempelopori munculnya teori negosiasi wajah. Penelitian yang dilakukannya dipengaruhi oleh teori kesantunan dari Penelope Brown dan Stephen Levinson, yang menyatakan bahwa "orang akan menggunakan strategi kesantunan berdasarkan persepsi ancaman wajah". Teori negosiasi wajah berpendapat bahwa wajah atau citra diri sebagai fenomena universal yang meliputi seluruh budaya. Stella Ting Toomey berpendapat bahwa wajah dapat diinterpretasikan dalam dua cara, yaitu :
  • kepedulian akan wajah (face concern), yaitu berkaitan dengan muka seseorang maupun muka orang lain, terdapat kepentingan sendiri maupun kepentingan orang lain.
  • kebutuhan akan wajah (face need), yaitu merujuk pada dikotomi keterlibatan otonomi. 

Teori negosiasi wajah merupakan teori gabungan antara penelitian komunikasi lintas budaya, konflik, dan kesantunan. Teori negosiasi wajah memberikan dasar pijakan untuk memperkirakan bagaimana manusia akan menyelesaikan masalah berdasarkan wajah atau rupa dalam sebuah kebudayaan yang berbeda. Wajah atau rupa mengacu pada gambaran diri seseorang dihadapan orang lain atau gambaran jati diri orang lain yang berasal dari dalam dirinya dalam sebuah situasi sosial. 

Teori negosiasi wajah mengidentifikasi bagaimana orang-orang yang memiliki budaya berbeda dapat bernegosiasi atau mengatasi konflik dalam komunikasi tanpa harus ada pihak yang merasa menang atau kalah. Wajah (face) merupakan gambaran diri atau identitas budaya dari individu. Sedangkan facework merupakan pesan verbal atau non verbal yang digunakan untuk memelihara, mempertahankan, atau menyempurnakan identitas diri dalam kebudayaan yang berbeda.

Individualistik (Individualism) vs Kolektivistik (Collectivism). Teori negosiasi wajah menyebutkan bahwa facework dari budaya individualistik sangat berbeda dengan facework dari budaya kolektivistik. Maksudnya, jika facework berbeda maka cara menangani konflik juga berbeda.  Perbedaan di antara keduanya dapat dilihat dari cara mengartikan tiga istilah self (diri), goals (tujuan), dan duty (tugas).
  • budaya individualistik, memposisikan dirinya sebagai dirinya sendiri, dengan tujuan hanya untuk kebutuhan dirinya sendiri, dan tugasnya hanya melayani dirinya sendiri.
  • budaya kolektivistik, memposisikan dirinya sebagai bagian kelompok, dengan tujuan lebih kepada kebutuhan kelompok, dan tugasnya untuk melayani orang lain atau kelompoknya.

The Multiples Faces of Face. Wajah (face) mempunyai makna yang berbeda pada orang yang berbeda, bergantung pada budaya dan identitas individualnya.
  • Face restoration, yaitu strategi facework dalam budaya individualistis. Digunakan untuk membantu mengeluarkan kekhasan tempat dalam kehidupan, memelihara otonomi, dan membela untuk menentangkerugian dari kebebasan individu.
  • Face giving, yaitu strategi facework dalam budaya kolektivistik. Digunakan untuk mempertahankan dan mendukung orang lain yang membutuhkan bagian dari kelompok. 

Gaya Konflik Komunikasi. Gaya konflik terdiri dari belajar perilaku yang dikembangkan melalui sosialisasi dalam satu budaya. Gaya konflik dapat diklasifikasikan menjadi dua dimensi, yaitu :
  • dimensi pertama, menunjukkan kepedulian terhadap diri. Betapa pentingnya bagi ndvidu untuk mempertahankan wajah mereka sendiri atau dari budaya mereka sendiri.
  • dimensi kedua, kepedulian terhadap orang lain. Seberapa penting bagi individu untuk membantu mereka mempertahanan wajah mereka sendiri. 

Kombinasi dari dari dua dimensi tersebut akan menciptakan gaya dalam menghadapi konflik, yaitu :
  • Avoiding (menghindari), yaitu menghindari diskusi dengan anggota kelompok lain mengenai perbedaan yang dimiliki.
  • Obliging (mewajibkan/menurut), yaitu memberikan harapan kepada anggota kelompok.
  • Compromising (mengorbankan), yaitu memberi dan menerima (take and give) untuk kesepakan yang dapat dibuat.
  • Dominating (mendominasi), yaitu teguh dalam mempertahankan pendapat pribadi demi kepentingan pribadi.
  • Integrating (mengintegrasikan), yaitu menukar ketepatan informasi dengan anggota kelompok untuk memecahkan masalah bersama.

Stella Ting Toomey selanjutnya menambahkan tiga model lagi dalam manajemen konflik, yaitu :
  • emotional expression (ekspresi emosional), maksudnya adalah mengartikulasikan perasaan orang lain dalam rangka untuk menangani dan mengendalikan konflik. 
  • passive aggressive (pasif agresif), maksudnya adalah suatu reaksi terhadap konflik dengan berusaha untuk membuat orang lain merasa bersalah.
  • third party help (pihak ketiga yang membantu), maksudnya adalah mencari bantuan pihak ketiga sebagai penengah agar dapat menemukan jalan keluar dari suatu konflik.

Terdapat tiga elemen penting untuk menghasilkan suatu komunikasi efektif dalam komunikasi antar budaya, yaitu :
  • knowledge, pengetahuan yang banyak dapat memberikan banyak pandangan agar kita lebih dapat membuka mata mengenai budaya.
  • mindfulness, menunjukkan suatu kesadaran bahwa segala sesuatu tidak selalu terlihat seperti yang dilihat.
  • interaction skill, merupakan kemampuan untuk berkomunikasi secara tepat, efektif, dan cepat beradaptasi dengan lingkungan.

Teori negosiasi wajah (face negotiation theory) bergerak di tataran komunikasi antar budaya, yang menekankan pada face, conflict, dan culture. Saat kita sedang melakukan komunikasi dengan seseorang yang memiliki latar budaya yang berbeda maka dengan menggunakan teori negosiasi wajah, kita dapat lebih mengerti bagaimana cara berkomunikasi yang baik agar dapat menghindari atau mengatasi konflik yang terjadi karena kesalah-pahaman sebagai akibat perbedaan budaya dalam melakukan komunikasi.

Semoga bermanfaat.

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »