Permainan Politik

August 13, 2019

Sejak ada UU TNI yang memastikan TNI tidak lagi berpolitik, masuk barak, maka saat itu TNI menjadi lembaga yang tak tersentuh oleh kekuatan pemerintah. Mengapa ? Karena sejak UU TNI disyahkan, keberadaan TNI menjalankan politik negara. Apa itu, UU 45, Pancasila, NKRI dan Bhinneka Tunggal Ika. Posisi presiden dihadapan TNI bukan presiden sebagai kepala pemerintahan tapi kepala negara. Sebagai kepala Negara, presiden sebagai panglima Tertinggi. Jadi begitu sistemnya. Dengan demikian siapapun presiden tidak bisa mengintervensi TNI dalam hal teknis dan operasional. Bahkan BPK pun tidak boleh audit TNI. Ini menyangkut wilayah otonomi yang tidak bisa disentuh oleh lembaga lain yang lahir dari konsesus Politik. Mengapa ? Kalau TNI bisa dikendalikan oleh kekuatan politik maka TNI akan beresiko dimanfaatkan oleh petualang politik dan negeri ini terancam yang kapan saja bisa hancur.
Sistem itu sangat dipahami oleh pemain politik. Mereka sadar bahwa TNI sudah di Cluster secara UU. Tidak mungkin lagi dimanfaatkan oleh siapapun. Apalagi yang punya agenda mengubah idiologi tanpa melalui konstitusional. Contoh, mengapa dalam revisi UU anti teroris itu berlangsung alot bertahun tahun dan baru rampung setelah ada aksi 411? Itu karena TNI tidak mau terlibat langsung dalam perlawanan dengan teroris, yang bagi  TNI itu adalah ekses dari produk politik pemerintah yang harus ditangani POLRI. Bukan oleh TNI. Peran TNI hanya mem back up. Itupun dengan kriteria yang jelas, dimana berhubungan dengan teroris transnasional atau upaya makar. Makar pun harus dengan senjata bukan dengan retorika atau demo damai. Jadi kalau sikap TNI itu tidak mudah tergiring ke kiri atau ke kanan, apalagi atas dasar asumsi Politik, itu karena UU mengharuskannya begitu.
Kerena TNI tidak lagi bisa dimanfaatkan seperti era menjatuhkan Soekarno dan mengawal 32 tahun Soeharto, maka kekuatan politik tersisa adalah nasionalis dan Islam. Kedua kekuatan ini adalah kekuatan Real di negeri ini dan sudah terbukti sejak sebelum kemerdekaan sampai merdeka. Disisi lain ada Golkar, yang memang partai pragmatis yang bisa kemana saja. Berbeda dengan PDIP yang merupakan partai idiologi. Platform Golkar yang sudah mengakar sejak ORBA sangat solid memanfaatkan kekuatan islam dan Nasionalis. Yang paling paham sekali soal strategi ini adalah Perwira TNI yang lulus Era Soeharto. Contoh, kehebatan SBY mendirikan PD dan akhirnya bisa mengalahkan Megawati dalam pemilu 2004 dan 2009. Karena SBY mendirikan PD dengan platform nasionalis religius. 
PD memanfaatkan dendam kelompok Islam terhadap kekuatan nasionalis kiri PDIP. Tentu dengan mudah PD bisa  menarik barisan Islam yang didukung ormas besar maupun yang didukung oleh ormas akar rumput yang punya agenda mengganti idiologi negara. Kekalahan Ahok juga sama. Tapi dalam hal ini walau berhasil mengalahkan Ahok namun tidak berhasil menempatkan AHY jadi gubernur. Justru taktik ini dimanfaatkan ditikungan oleh Gerindra yang mendukung Anies, yang dibelakangnya ada JK. JK sangat paham permainan catur SBY. Karena dia dulu berpasangan dengan SBY untuk mengalahkan Megawati sebagai petahana. Putaran pertama JK berhasil memanfaatkan ahoker dan jokower menyerang AHY dan ketika putaran kedua, politisasi agama dimanfaatkan dengan membenturkan secara langsung antara kekuatan Islam dengan Ahok. Sebetulnya yang dihadapi mereka buka Ahok, tetapi PDIP. 
Kekalahan Ahok dalam Pilkada DKIR adalah kekalahan PDIP sebagai nasionalis kiri. Tetapi dengan bijak elite politik koalisi Ahok yang terdiri dari Golkar dan Nasdem lainnya beralasan” kita harus korbankan Ahok untuk memuluskan kemenangan Jokowi dalam pemilu periode kedua nanti”. Tetapi Megawati engga lagi percaya dangan mereka. Makanya PDIP mendorong dikeluarkannya Perpu Ormas, Revisi ITE dan UU anti teroris. Mengapa ? Agar TNI punya dasar hukum menghadapi ormas yang terindikasi makar dengan rencana mengganti idiologi negara. Namun TNI tidak bisa terlibat langsung terhadap indikasi makar selagi itu hanya produk UU. 
TNI itu menjalankan politik negara. Makanya sangat sulit bagi Pemerintah menghentikan pemikiran dan wacana mengganti Pancasila oleh kalangan Islam. Bahkan pembubaran HTI digugat sampai ke pengadilan. Walaupun HTI kalah, itu hanya membubarkan ormasnya tetapi tidak bisa melarang pemikiran HTI. Sampai kini FPI tidak bisa dibubarkan paksa, termasuk FUI dan lainnya yang lebih garang dari HTI. Mengapa ? Karena tidak ada dalam UUD 45 yang melarang politisasi agama, sepanjang itu dilakukan secara konstitusional. Artinya UUD bisa saja diubah berbasis syariah bila kelompok Islam menguasai 2/3 parlemen. Kalau itu terjadi, TNI pasti mendukung dan loyal.
Keadaan ini dipahami benar oleh PDIP. Kalau negara tidak Ingin ada politisasi agama maka harus ada Tap MPR soal SARA, seperti yang telah ada yatiu melarang politisasi ajaran komunis. Lantas mengapa PDIP menarik kedalam Gerindra? Kerena agenda ingin mengubah UUD 45 yang memungkinkan MPR berfungsi lagi dan tap MPR bisa dihasilkan . Disamping itu tentu ada alasan khusus yang engga mungkin dibuka di ranah publik. Yang jelas Megawati udah engga percaya dengan Golkar dan Nasdem dalam memperkuat agendanya. Kalaupun koalisi itu terjadi, itu atas pertimbangan pragmatis saja. 
Ujian terberat PDIP adalah dalam Pilkada tahun 2020, kalau Anies maju lagi didukung Nasdem dan Golkar maka akan jadi pertarungan to be or not to be bagi Megawati dan Gerindra, juga bagi kelompok Islam bersama sama kekuatan Golkar dan Nasdem. Kalau Anies menang lagi dalam Pilkada maka politisasi agama mendapat tempat lagi dan sangat sulit secara politik mengubah UUD 45, apalagi mengeluarkan tap MPR melarang SARA. Umat Islam semakin mendapatkan kepercayaan tinggi untuk melakukan aksi extra parlementer menekan MPR yang ingin mengeluarkan tap MPR. Kalau masa besar, TNI bukan lagi mem back up polisi tetapi mengawal rakyat dari bedil POLRI.
Jokowi dan Megawati berusaha berlaku santun kepada ulama dan tokoh agama. Kalaupun ada statement membantah aspirasi umat Islam, itu disampaikan oleh Menko Polkam. Nah, sebaiknya kita tiru cara Jokowi dan PDIP menghadapi agenda politik kelompok Islam dengan sabar tanpa terjebak menebarkan kebencian. Lawan pemikiran dengan pemikiran juga. Perang literasi itulah tugas kita dalam media sosial, bukan ikut ikutan menebalkan dinding perbedaan dan menajamkan pisau lawan untuk menusuk kita sendiri. Semoga dipahami.

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »