AYAH
Pada pertengahan tahun 50-an, beliau anak pertama di kampungnya yang memutuskan mondok di sebuah pesantren terkenal bernama Darussalam Gontor. Jarak yang sangat jauh, hampir 800km terbentang antara Ciomas, Serang dan desa Gontor Ponorogo, tidak mematahkan semangat Mahfudh muda untuk merantau menuntut ilmu.Berbekal seadanya, menumpang mobil bak terbuka ke kota, lalu menaiki kereta api dari Gambir, Jakarta ke Madiun. Sebuah keputusan yang tidak populer ditengah masyarakat Banten yang sudah punya banyak kiyai dan pesantren salaf tradisional kala itu. Tentunya, keputusan ini tidak terlepas dari dukungan kedua orang tuanya yang merupakan tokoh pemuka agama di Ciomas.
Di Gontor, Mahfudh mempelajari berbagai ilmu dan skill. Pelajaran bahasa Arab dan inggris adalah favoritnya. Di masa pengabdiannya, maka Mahfudh dikenallah menjadi guru Bahasa Inggris. Salah satu muridnya yang selalu mengingatkan kami tentang peran beliau adalah K.H. Hasan Abdullah Sahal yang sekarang menjadi salahsatu pimpinan Pondok Modern Gontor. Saya teringat pertemuan kami di Madinah tahun 2014, Kiyai Hasan mengulang-ulang cerita bagaimana dulu beliau pernah dihukum oleh Ust Mahfudh dalam kelas bahasa Inggrisnya.
Di Gontor pula, Mahfudh muda berkenalan dengan Nurcholis Madjid muda dan Mahrus Amin muda. Ketiganya kelak pada awal tahun 70an kompak merantau ke Jakarta, kuliah di kampus yang sama dan punya pemikiran revolusioner dalam bidang pendidikan Islam Indonesia.
Dalam perjalanannya, Nurcholis menjadi Guru Besar di IAIN Jakarta serta membangun Universitas Paramadina. K.H. Mahrus Amin pula bersama mertuanya Kiyai Manaf merintis dan membina Pondok Pesantren Darunnajah Ulujami yang kini mengembang ke 17 cabang se-Indonesia. Ayah Mahfudh pula, muncul sebagai salahsatu pimpinan dan pembina Yayasan Pesantren Islam (YPI) Al-Azhar yang kini memiliki ratusan unit cabang sekolah Islam modern se-Indonesia.
Kedekatan Ayah dan Ust Mahrus ini masih terus berlanjut ketika dimintanya Ayah untuk duduk di Dewan Nazir Pesantren Darunnajah. Pimpinan Darunnajah Ust KH Dr Sofwan Manaf pernah berseloroh, "Dalam rapat Dewan Nazir, Ayah Mahfudh pasti selalu banyak mendiskusikan hal ihwal Pondok secara detail. Laporan Pesantren banyak dicorat coret dikasih catatan oleh beliau." Begitulah besarnya perhatian beliau terhadap pendidikan.
Di Al-Azhar sendiri, perjalanan Ayah ke puncak kepemimpinan merupakan rekam jejak yang bermula dari bawah. Tepatnya, di ruang bawah Masjid Al-Azhar Kebayoran Baru, dimana beliau sempat tinggal dan menjadi marbot masjid di akhir tahun 60an. Bukan sembarang marbot, karena tokoh yang mempercayakan beliau tak lain tak bukan adalah ulama besar Buya Hamka.
Ayah Mahfudh menyaksikan sendiri kiprah Buya dan banyak terlibat dalam kegiatannya di Masjid Kebayoran itu. Tidak heran seluruh keluarga Buya Hamka termasuk putranya yang masih hidup kini (Buya Afif Hamka) memiliki kedekatan hubungan layaknya bagian dari keluarga. Dalam buku kenangan memperingati 100 tahun kelahiran Buya, Ayah Mahfudh mengenang kembali kedekatan beliau dengan Buya. Buya lah yang menghadiahinya sarung ketika Ayah akan menikah pada tahun 1970.
Sejak saat itu, Ayahanda Mahfudh tidak pernah meninggalkan Masjid dan Yayasan Al-Azhar. Dari dalam dapur Al-Azhar, beliau membina langsung Sekolah Islam moderen tersebut. Peran sebagai guru, pembina Pramuka, kepala sekolah, Direktur Pendidikan, Ketua Yayasan, sampai ke Pembina Yayasan Pesantren Islam (YPI), semua pernah dilakoninya. Turut dibina olehnya pengembangan sekolah, unit usaha, pesantren pelatihan Cigombong, sampai berdirinya Universitas Al-Azhar Indonesia, beliau senantiasa ada, meskipun lebih sering berperan di balik layar. Tak ayal baginya, Al-Azhar adalah rumah, layaknya rumah di kampung halamannya di Ciomas sana.
Namun begitu, tidak pernah Ayah Mahfudh lupa tanah leluhurnya di pelosok tanah Banten itu. Sesibuk apapun beliau, tidak pernah Ayah absen untuk pulang kampung ke Ciomas minimal sebulan sekali, yaitu setiap Sabtu-Ahad minggu pertama di tiap bulannya. Malah sering beliau mengemudi kendaraannya sendiri.
Sang Bunda ("Bunde") sudah hapal akan jadual kedatangan putra sulungnya itu. Terlambat sedikit, pasti sudah ditunggu-tungunya di depan rumah, sampai tiba putra kesayangannya itu yang datang bersama seisi keluarga. Kebiasaan ini berjalan terus tanpa henti hingga akhir hayat sang Bunde beberapa tahun yang lalu. Sang Bunde kini sudah berehat di alam kuburnya.
Namun Ayah Mahfudh tidak pernah kehabisan ikhtiar untuk berbakti kepada orangtua dan menebar manfaat kepada masyarakat, dan inilah tauladan yang beliau tanamkan kepada kami anak-anaknya. Seiring perjalanan, Ayah mewakafkan dua hektar tanahnya di kampung untuk dijadikan lahan pesantren. Kini disana, tepat di seberang rumah Bunde yang asri dan damai, telah berdiri Pesantren Tahfiz Darunnajah 17, Alhamdulillah. Sebuah tauladan seorang anak desa dan ayah teladan yang sangat prihatin terhadap pendidikan anak bangsa di masa depan.
Di kediamannya di Cililitan, Ayah dan mama tidak melupakan tanggungjawabnya terhadap masyarakat setempat. Maka sejak pertengahan tahun 80-an, pasangan sejoli Mahfudh dan Nurharvin turut membina sebuah Madrasah Diniyyah bernama Al-Hidayah di kawasan Gang Alisarbi Cililitan. Dibangun pula sebuah musholla yang kini telah bermetamorfosa menjadi Masjid Al-Hidayah. Putra putri Ayah semuw pernah menjadi bagian tak terpisahkan dari kegiatan Remaja Masjid Islam Al-Hidayah (RIAS).
Di masjid inilah sang Ayah menanamkan jiwa disiplin dan ketaatan kepada kami, dengan rutin menjalankan solat 5 waktu berjamaah dan ceramah Subuh setiap Ahad. Ketika Ayah sakit, absen mengimami jamaah lebih dari sebulan lamanya, beliau sempat menanyakan jamaah, dan mengeluh karena tidak bisa lagi ke Masjid. Mendengar berira ini, jama'ah sedih dan sempat menangis di Masjid secara berjama'ah pula! Rindu nian dan merasa kehilangan.
Ketika mereka sampaikan hal ini saat menjenguk Ayah, Ayah pula menangis tak bisa menahan! yaa Salaam.. demikian kuatnya jalinan dan ikatan antara Ayah dan jamaahnya. Baik ikatan dalam ibadah maupun dalam emosi yang meluah!
Ya.....
Kini Ayah, di usianya yang ke-77, sedang sakit. Bahasa lainnya adalah, sedang dicabut nikmat sehatnya. Setelah berminggu-minggu menderita batuk tiada henti, kini beliau menjalani rawatan intensif terkait tumor di paru-parunya. Lantas mulai ada yang bertanya-tanya; pernah merokok kah Ayah? Lingkungannya merokok? Jarang olahraga? Sembarangan makannya? Kurang tidurnya? Jawaban atas itu semua sama: TIDAK alias Nehi nehi! Lantas apa? Dokter saja tidak punya jawabannya, apalagi kami anak-anaknya. Qadarullah.
Keadaannya masih payah. Sekujur badannya melemah. Suaranya melemah. Aktivitasnya menurun. Berat badannya menurun. Namun doa serta solatnya tidak pernah berkurang. Mamah dan anak-anaknya kompak menemani, melayani dan menguruskan segalanya. Kompak, walau kadang harus kompak menahan lelah dan air mata.
Sabar dan Ridho menjadi penghibur hati. Ayah Mahfudh tetap tenang kulihat, sedikit bicara sambil menerima apa yang kami aturkan untuknya.
Ayah, dalam jauh ingin rasanya kami dekap. Dalam dekat tak jenuh kami menatap. Lirih doa kami, agar kau tetap kokoh menikmati ujian ini.
Kepadamu kami memohon maaf, jika tak cakap kami merawat, tak sigap kami bergerak, atau jika jauh waktu dan ruang merentang antara kita sehingga tak kerap kita bersua.
Kepada teman-teman, murid-murid atau yang pernah mengenali Ayah... Kumohon sisipkan doa yang terbaik untuk kesehatan Ayah.
Dialah Mahfudh Makmun yang mungkin pernah kau kenali. Dialah ayah isteriku, Eyang anak-anakku. Dialah ayahku. Syifa'an inshaAllah.
Kuala Lumpur, 10 Juli 2019.
EmoticonEmoticon