Pluralis Politik, Tidak ada mayoritas

May 31, 2019

Tahukah anda bahwa secara hukum, sebetulnya sejak merdeka 17 agustus 1945 dan selama Orde lama, kita belum pernahn punya presiden berdasarkah hasil pemilu. Dan kita juga sejak era Soekarno sampai dengan Gus Dur, kita belum ada produk UUD yang dihasilkan lewat Pemilu. Mungkin anda akan berkerut kening dengan kesimpulan saya diatas. Mari kita lihat sejarah bangsa ini sejak dari masa kemasa. Tujuannya agar kita bisa menyikapi fenomena zaman sekarang. Setidaknya kita sadar bahwa Indonesia itu berdiri karena Rahmat Tuhan, dan bisa bertahan juga berkat rahmat Tuhan. Tanpa rahmat Tuhan, engga mungkin Indonesia bisa bertahan sampai sekarang***

Ketika proses menuju proklamasi kemerdekaan, ada pertentangan antara kubu kaum tua dan kubu revolusioner yang mayoritas anak muda. Kaum tua dimotori oleh Soekarno -Hatta, dan kubu Muda, dimotori oleh Sutan Sjahrir. Soekarno-Hatta inginkan kemerdekaan secara konstitusional dimana secara hukum International Indonesia masih dibawah kekuasaan Jepang. Seharusnya kalau ingin merdeka harus mendapatkan persetujuan dari Jepang. Sementara kaum muda, tidak menginginkan persetujuan dari Jepang. Kaum muda tahu bahwa hanya masalah waktu, Jepang akan kalah dalam perang dunia kedua. Saat itu indonesia harus memerdekakan diri. Tatapi secara hukum, Indonesia tidak bisa otomatis merdeka. Karena Indonesia akan menjadi hak negara yang memenangkan perang.

Itu sebabnya, setelah mengetahui bahwa Jepang telah menyerah kepada Sekutu dalam perang dunia kedua, keadaan kekuasaan di Indonesia jadi Vacuum of Power. Artinya tidak ada pemerintahan yang syah.Para pemuda segera menemui Bung Karno dan Bung Hatta di Jalan Pengangsaan Timur 56 Jakarta. Dalam pertemuan itu Sutan Syahrir sebagai juru bicara para pemuda agar meminta Bung Karno dan Bung Hatta untuk segera mempersiapkan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada saat itu juga, lepas dari campur tangan Jepang. Namun, Bung Karno tidak menyetujui usul dari para pemuda dengan alasan bahwa ia baru pulang dari Dalat, Vietnam. Benar Jepang kalah secara defacto tetapi belum menyerah secara resmi.

Karena belum berhasil membujuk Bung Karno, mereka mengancam akan terjadi pertumpahan darah jika keinginana itu tidak dilaksanakan. Mendengar ancaman itu, Bung Karno marah besar. Bung Karno tetap akan melanjutkan proses kemerdekaan Indonesia sesuai procedure yaitu melalui    PPKI ( panitia Persiapan kemerdekaan Indonesia) yang direstui oleh Jepang.  Sementara para pemuda menghendaki Proklamasi Kemerdakaan Indonesia diselenggarakan secepatnya tanggal 16 Agustus 1945. Proklamasi Kemerdekaan Indonesia terlepas dari pengaruh Jepang Mereka menganggap PPKI  buatan Jepang dan menilai golongan tua sangat lamban. Masalah para pemuda tahu, kalau sampai penyerahan kekuasan secara resmi oleh Jepang kepada sekutu maka secara hukum Indonesia milik sekutu. Bagi kaum muda, now or never.

Namun mereka tidak berani untuk mengumumkan kemerdekaan tanpa persetujuan Bung Karno dan Bung Hatta. Mereka menginginkan Soekarno dan Hatta bertindak cepat dalam memanfaatkan situasi vacuum of power tersebut, sehingga proklamasi dilaksanakan tanpa campur tangan Jepang. Akan tetapi, perbedaan pendapat antara golongan tua dan golongan muda tersebut tidak dapat mencapai titik temu, sehingga golongan pemuda (Kelompok Menteng 31) memutuskan untuk membawa Soekarno-Hatta ke Garnisun PETA yang ada di Rengasdengklok. Dibawanya Ir. Soekarno dan Moh. Hatta ke Rengasdengklok merupakan salah satu bentuk tekanan dari golongan muda terhadap golongan tua pada waktu itu. Tapi Soekarno tidak peduli. Tetap ingin mengikuti presedur yang konstitutional.

Keesokan harinya tanggal 17 agustus 1945 barulah Soekarno melaksanakan keinginan para pemuda melaksanakan Proklamasi kemerdekaan. Itupun setelah selesai rapat PPKI dengan menetapkan UUD 45 dengan menjadikan Pancasila sebagai falsafah negara. Tapi harus dicatat bahwa UUD 45 itu dibuat dalam sidang BPUPKI, bukanlah final. Semua anggota BPUPKI sepakat bahwa UUD 45 adalah Undang-Undang Dasar kilat. Nanti setelah negara di dalam suasana lebih tenteram, anggota MPR dapat membuat UUD 45 yang lengkap dan sempurna. Saat itu semua anggota BPUPKI sepakat akan membentuk konstituante yang bertugas membuat UUD 45.

Ternyata memproklamirkan Indonesia merdeka tidak semudah mempertahankannya. Karena pasukan Sekutu yang memenangkan perang dunia kedua atas jepang berhak atas Indonesia. Sekutu sudah menerima kekuasaan dari Jepang secara resmi. Dalam proses perseteruan berebut legitimasi dengan pihak Belanda yang mendapat right dari pasukan sekutu atas Indonesia, terjadi gonta ganti sistem tata negara, tentu UUD juga berubah. Sampai dengan tahun 1956, sejak Indonesia di proklamirkan sempat tiga kali berganti Undang-Undang Dasar. Antara lain UUD 1945, UUD Republik Indonesia Serikat, dan UUD Sementara 1950. Namun, ketiga UUD itu tidak muncul melalui anggota dewan hasil pemilu. Itu hanya konsesus diatara elite politik saja. Jelas legitimasinya rendah.

Tahun 1955 Pemilu digelar, yang bertujuan untuk memilih wakil rakyat di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Konstituante. Namun lagi lagi pemilu itu ada karena UUD Sementara yang lahir dari konsesus elite politik,bukan pemilu. Menurut Undang-Undang Dasar Sementara (UUDS) 1950, DPR hasil Pemilu 1955 memiliki hak legislatif seperti hak anggaran, hak amendemen, hak inisiatif, hak bertanya, hak interpelasi, hak angket, dan hak mosi. Sedangkan, Dewan Konstituante berwenang merumuskan Undang-Undang Dasar Baru Negara Indonesia. Namun hasil pemilu 1955 tidak menghasilkan pemenang pemilu, yang bisa menentukan dengan mudah UUD yang baru.

Mengapa ? ternyata walau umat islam mayoritas secara politik pilihan mereka berbeda.  Ada tiga faksi kekuatan politik yang eksis paska pemilu 1955. Yaitu Faksi pendukung dasar negara Islam terdiri atas Masyumi, NU, Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII), Persatuan Tarbijjah Islamijjah (Perti), dan sejumlah partai Islam lainnya. Faksi kedua, adalah Pendukung dasar negara Pancasila tersusun sebagian besar atas Partai Nasional Indonesia (PNI), Partai Komunis Indonesia, Partai Katolik, dan Partai Sosialis Indonesia. Faksi ketiga adalah Pendukung dasar negara Sosial Ekonomi berasal dari Partai Buruh, Musyawarah Rakyat Banyak (Murba), dan Angkatan Comunis Muda (Acoma).

Sidang konsituante itu bertele tele, terutama pembahasan soal dasar negara. Para tokoh sentral yang tidak pernah satu suara satu sama lain adalah Buya Natsir dari Masyumi, Kiai Haji Wahab Chasbullah dari NU, Wikana dan Njoto dari PKI, serta Prof Sutan Takdir Alisjahbana dan Soedjatmoko dari PSI. Mereka benar-benar berdebat sengit mengemukakan kelebihan dasar negara usungannya dan menguliti kekurangan dasar negara lawannya. Pada akhirnya perdebatan dasar negara di Dewan Konstituante berujung ke jalan buntu. Tidak ada kata sepakat mengenai dasar negara, baik melalui jalan musyawarah maupun pemungutan suara. 

Sementara Soekarno memperkenalkan demokrasi terpimpin. Demokrasi tergantung apa maunya pemimpin. 21 Februari 1957 Soekarno mendesak pembentukan suatu kabinet berkaki empat (Masyumi, PNI, NU, dan PKI). Kedua dibentuknya DPR-GR yang terdiri dari perwakilan partai NasAKom dan golongan fungsional yang dirasa belum diwakili oleh partai, termasuk di dalamnya militer.Pada waktu sistem perlementer dihapuskan, penolakan itu muncul dari Bung Hatta sebagai wakil Presiden dan M. Natsir dari Masyumi. Akhirnya, situasi politik memanas. Soekarno lalu muncul pada 5 Juli 1959. Dia mendekritkan pemberlakuan kembali UUD 1945 dan membubarkan Dewan Konstituante.

Bagi tokoh Masyumi sikap Soekarno mengeluarkan dekrit itu sikap diktator, padahal Soekarno bersikap bukan atas dasar diktator tetapi memang faktanya mayoritas anggota konsituante inginkan kembali ke UUD 45, hanya saja tidak mencapai kuorum 2/3 anggota yang ditetapkan oleh UUD Sementara. Dwitunggal Soekarno - Hatta pecah kongsi. Beberapa tokoh konstituante dari PSI dan Masyumi ( minus NU), pada tahun 1958, bergabung dengan pemberontakan PRRI terhadap Soekarno. Sebagai hasilnya, pada tahun 1960 Masyumi —bersama dengan Partai Sosialis Indonesia— dilarang. 

Sampai disini jelas bahwa kita tidak pernah ada UUD 45 yang dibuat berdasarkan kehendak rakyat lewat Pemilu. Yang ada adalah UUD 45 dan Pancasila sesuai konsesus para pendiri bangsa ini. Secara defacto mereka adalah pemimpin bangsa yang diakui rakyat namun secara konstitutional tidak memenuhi syarat. Sampai akhirnya Soekarno jatuh, kita belum punya presiden hasil pemilu. 

Ketika Soeharto berkuasa, iapun tidak ada niat mengubah UUD 45 dan Pancasila. Pemilu pertama era Orba tahun 1971, atau 4 tahun setelah Soeharto menjadi presiden sementara, DPR/MPR hasil pemilu tidak bersidang membuat UUD baru tetapi justru menetapkan UUD 45 dan Pancasila sesuai konsep awal BPUPKI. Pertanyaannya adalah benarkah itu kehendak murni keinginan rakyat. Pada kenyataannya Pemilu dibawah bayang bayang kendali penuh dari Pemerintah Soeharto bersama ABRI.

Reformasi tahun 1998 menyebabkan tumbangnya rezim Orde Baru pimpinan Presiden ke-2 RI Soeharto. Setahun setelah itu dilaksanakan Pemilu untuk memilih legislatif yang kemudian membuka pintu terjadinya amandemen UUD 1945. Namun kembali lagi sama seperti tahun 1956 Engga mudah. Karena tidak ada partai yang menguasai suara mayoritas di DPR/MPR. Sehingga walau Amin Rais ketua MPR yang merupakan wakil dari partai Islam, tidak bisa memaksakan agenda golongan islam untuk mengubah dasar negara menjadi islam. Amandemen UUD 1945 pertama disahkan pada 19 Oktober 1999. Perubahan pada Pasal UUD 45 ini diantaranya membatasi masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden RI sehingga maksimal 2 periode. Selain itu beberapa kewenangan Presiden RI pun harus berkoordinasi dengan DPR berdasarkan perubahan ini. 

Belum genap setahun, pada Agustus 2000 digelar Sidang Umum MPR untuk amandemen kedua UUD 1945. Pasal tentang Hak Asasi Manusia (HAM) menjadi lebih banyak dan detail. Selain itu juga diatur mengenai otonomi daerah. Kemudian pada 9 November 2001 disahkan amandemen ketiga UUD 1945. Pada amandemen ini juga diatur mengenai pemilihan umum. Amandemen ketiga ini juga mengatur secara rinci mengenai cara memakzulkan presiden. Setelah Gus Dur lengser, pasal tentang pemakzulan pun masuk di amandemen UUD 1945 ini. Amandemen terakhir UUD 1945 dilakukan pada 2002. Jika amandemen sebelumnya lebih kepada sistem pemerintahan hingga HAM, pada amandemen keempat ini juga menyinggung soal perekonomian negara. Ada penambahan ayat di Pasal 33. Amandemen keempat UUD 1945 juga menghapus Dewan Pertimbangan Agung (DPA). 

Kesimpulannya, setelah amandemen UUD45, tidak mungkin terjadi perubahan UUD 45 sesuai dengan kehendak golongan mayoritas. Karena faktanya dalam Pemilu sampai dengan sekarang tidak ada satupun partai yang bisa menang diatas 2/3 korsi di DPR/MPR. Kita harus bersyukur karena barulah di era reformasi kita punya UUD yang legitimate yang anggota DPR nya dipilih langsung oleh rakyat dengan pemilu demokratis. Berbeda dengan era Soeharto, dimana sebelum Pemilu digelar sudah ketahuan partai apa pemenangnya, dan suaranya diatas 2/3. Presiden juga sudah diketahui sebelum pemilu digelar. Di era sekarang kelompok kemunis tidak mungkin bisa eksis karena mereka tidak suka dengan demokrasi langsung. Kelompok islam juga tidak suka dengan demokrasi. Keduanya inginkan memonopoli kekuasaan. Mereka inginkan era seperti orde baru dimana demokrasi hanya sebagai cover untuk memungkinkan orang berkuasa tanpa jeda. Faktanya Indonesia memang pluralis politikm dan itulah kekuatan sesungguhnya Indonesia, yang tidak memungkinkan lahirnya diktator berbungkus idiologi atau agama.










Share this

Related Posts

Previous
Next Post »