Beberapa nitizen bertanya kepada saya, “ Babo tolong bahas mengenai defisit neraca perdagangan. Banyak rumor negatif atas defisit perdagangan ini. Bahkan ada yang bilang defisit neraca perdagangan ini terparah. “ Saya sebetulnya malas membahas ini. Mengapa ? karena defisit neraca perdagangan yang ada sekarang bukan di picu oleh meningkatnya impor barang barang kebutuhan umum. Pasar retail untuk kebutuhan barang sekunder sejak beberapa tahun lalu turun. Kecuali barang kubutahan primer yang sebagain besar merupakan produksi dalam negeri. Ekspor non migas tetap surplus. Itu artinya produktifitas tetap terjadi. Kalau dibilang defisit kita sangat besar dan sangat mengkawatirkan, itu juga salah. Defisit Kisarannya sampai dengan kwartal ke empat hanya sebesar 3% terhadap PDB. Itu masih sehat banget. Bandingkan dengan tahun 2014 diatas 3%.
Lantas mengapa defisit? karena di dominasi oleh meningkatnya impor migas. Sebagai akibat tingginya permintaan domestik. Anda bisa liat tinggi penjualan kendaraan mencapi 10,8 % sampai dengan september 2018. Kalau ekonomi turun engga mungkin orang punya uang beli kendaraan. Belum lagi tingginya produksi perikanan yang membutuhkan BBM tidak sedikit. Disamping itu arus modal investasi yang meningkat drastis sejak tahun 2015, tahun 2018 baru terasa pengaruhnya terhadap kebutuhan barang modal dan bahan baku penolong. Maklum investasi itu baru bisa terealisir paling cepat 3 tahun. Ini juga berperan besar akan meningkatkan kebutuhan baja, plastik, kimia dan lain lain. Terjadinya gap import dan ekspor itu hal yang lumrah dalam negara berkembang seperti Indonesia. Karena kita masih tergantung tekhnologi dan linked product dari luar negeri.
Disamping itu penyebab defisit nerace pardagangan itu adalah faktor ekternal. Yaitu adanya perang dagang antara China dan AS. Menurut catatan BPS, diketahui China dan Amerika Serikat (AS) masih menjadi negara utama tujuan ekspor RI dengan porsi ekspor paling besar. Pangsa pasar masih tetap ke Tiongkok (China) pertama 15,49%. Kedua AS 10,78%, dan Jepang 10,21%. Lalu Asean 21,52%, dan Uni Eropa 10,81%. Nah anda bayangkanm kalau dua negara tujuan utama ekspor kita perang, ya pasti kita kena imbas. Itu diluar kontrol pemerintah. Apalagi Indonesia dicurigai Trumps termasuk negara yang menjadi transhipment barang produksi CHina untuk masuk ke AS. AS sudah mengeluarkan ancaman akan dihapusnya GSP atas produk indonesia.
Pertanyaan berikutnya, apakah defisit ini menandakan indonesia sedang krisis parah? tidak ada krisis. Perhatikan duet hebat antara Ibu SMI dan Pak Fery yang begitu indah silatnya mensiasati fenomena perdagangan dunia sekarang. SMI mengeluarkan kebijakan fiskal dalam jangka panjang dapat memperbaiki necara perdagangan kita. Dalam jangka pendek, BI menjaga depresiasi rupiah dengan bagus sekali sehingga terjadi arus modal asing masuk ke Indonesia. Bank Indonesia melaporkan cadangan devisa pada akhir Desember 2018 mencapai US$120,7 miliar, tertinggi sejak Juni 2018. Ini rebound kembali setelah sebelumnya sempat merosot akibat depresiasi rupiah yang begitu tajam. Atinya dalam jangka pendek ekonomi kita secara fundamental tetap aman.
Kebijakan bulan sebtember SMI 2018 soal penyesuaian tarif impor dan insentip ekport akan baru di rasakan tahun 2019. Maklum umumnya kontrak dagang international itu rata rata tennornya 3 bulan sampai 6 bulan. Diperkirakan tahun 2019 kita akan kembali mencatat surplus perdagangan. Itulah yang dibaca oleh pemain di pasar uang sehingga mengkerek rupiah. Kalaulah kebijakan pemerintah tidak tepat, ya engga mungkin rupiah menguat, bursa bergairah dan pasar SBN laku keras seperti kacang goreng. Pengamat kubu PS engga paham ini. Karena mereka bukan pemain. Hanya pengamat pinggir lapangan. Kadang memang keliatan pinter daripada pemain. Orang bokek kadang memang begitu loh. Maklumi aja.
EmoticonEmoticon