Erdogan memang sebagai politisi termasuk smart. Tetapi culas secara ekonomi. Secara ekonomi dia tidak paham mengelola geopolitik dan geostrategis untuk kepentingan domestik. Proses kajatuhan ekonomi Turkey itu sudah berlangsung sejak 2016. Dukungan elite politik Turki yang selama ini setia kepada Erdogan nampak melemah dan memilih menjadi oposisi diam karena sikap rezim Erdogan yang terkesan diktator, mengabaikan hak hak demokrasi, terutama terjadi ketegangan antara pemerintah dengan kelompok kurdi. Juga dampak buruk dari kebijakan rekonsiliasi dengan Israel. Isyu kerjasama bisnis Israel dan Turki untuk memasok gas lewat jalur pipa gas sepanjang 550 KM menuju kota pelabuhan Mersin, Turki itu terletak di Selatan negara tersebut dan di pesisir pantai Timur Laut Mediterania. Rencana ini juga belum nampak kemajuan berarti. Gas masih tergantung dengan Rusia.
Ketidakstabilan politik dalam negeri ini juga datang di saat ekonomi Turki sedang memburuk. Pertumbuhan ekonomi melambat, korupsi merajalela dan investasi asing mengering. Belum lagi sangsi Rusia telah menyulitkan Turki karena 55% gas alam di suplai oleh Rusia. Berdampak penerimaan devisa menurun drastis. Karena 20% penerimaan sector pariwisata berasal dari Rusia. Sebagian besar jasa kontraktor Turki mendapatkan pekerjaan proyek APBN Rusia yang bernilai miliaran dollar. Pembeli utama produk pertanian Turki adalah Rusia.
Erdogan butuh perbaikan ekonomi Turki sebagai alat melanggengkan kekuasaanya. Karena kalau ekonomi terus turun maka rakyat yang tadi di belakang dia akan berbalik menjatuhkannya. dan di sini Rusia dapat memainkan peran yang sangat penting untuk menyelamatkan Erdogan. Erdogan menyadari bahwa campur tangan Rusia di Syria mendukung rezim Assad jauh lebih efektif secara politik dan rencana Turki menjatuhkan Presiden Bashar al-Assad praktis gagal. Erdogan mungkin juga ingin menemukan cara untuk menenangkan situasi di Syria dan mengurangi risiko ketidakstabilan Suriah mengarah ke Turki. Dan ini perlu Rusia membantunya.
Pemilu di AS yang mengakhiri masa jabatan Obama dengan Trumps sebagai pemenang tidak diantisipai oleh Erdogan dengan baik. Dia tidak menjaga diri dari perubahan kebijakan politik AS terhadap Turki yang tidak menyukai kebijakan Erdogan dalam membangun demokrasi di Turki. Ini jelas tidak menguntungkan partai Erdogan. Sikap kepada Rusia adalah posisi tawar yang strategis dengan AS. Namun, walaupun upaya untuk rekonsiliasi dengan Moskow telah di lakukan, Guncangan tabrakan "Brexit" mungkin sebagai pemicu Erdogan harus menemukan cara untuk melindungi diri terhadap dampak dari ketidakstabilan Eropa. Karenanya ia berharap peningkatan hubungan dengan Rusia dapat membantu dia keluar dari krisis domestik maupun regional. Bagi Rusia ,ini kesempatan untuk menggunakan bantuan Turki dalam upaya menstabilkan Suriah dan menemukan solusi kemenangan politik di Suriah pada khususnya dan Timur tengah pada umumnya.
Erdogan dengan percaya diri berhadapa dengan AS. ia membuat hubungan semakin memburuk dengan AS. Erdogan memenjarakan Andrew Brunson. Semua tahu bahwa Brunson adalah pendeta Amerika evangelis yang telah tinggal di Turki selama beberapa dekade. Dia ditangkap pada tahun 2016, di tengah upaya kudeta terhadap Erdogan. Erdogan mengklaim upaya kudeta itu diorganisir oleh seorang imam bernama Muhammed Fethullah Gulen, yang tinggal di pengasingan di AS. Brunson adalah salah satu dari banyak yang dituduh memiliki hubungan dengan gerakan Gulen. Kasusnya menekan Gedung Putih untuk melakukan sesuatu terhadap Turki. Jumat minggu lalu, Trump mengumungkan kenaikan tarif baja dan alumunium. Lira jatuh seketika sampai 18,5% pada hari jumat itu. Serangan berikutnya akan terus dilakukan AS sampai Erdogan jatuh!
Akibat serangan itu, Turki oleng. Bukan hanya itu, dengan jatuhnya Lira berdampak juga jatuhnya mata uang Rubel-Rusia ketitik terendah. Keadaan ini semakin sulit bagi Rusia untuk membantu Turki. Menyusul kemudian India dimana Rupee juga terpuruk. Rand mata uang Afrika selatan juga terjerembab. Bursa Asia semua jatuh. Karena investor lebih memilih menempatkan portfolio investasi ke kawasan haven seperti Swiss. Krisis lira juga merambah ke zona Eropa. Mengapa ? bank-bank Eropa terjebak kredit macet atau pinjaman kepada korporat Turki. Ini termasuk BBVA Spanyol, UniCredit Italia, dan BNP Paribas dari Prancis. Utang-utang itu sebagian besar dalam mata uang dolar dan euro, dan karenanya lebih sulit untuk membayar dengan lira yang melemah, sehingga saham di bank-bank ini semuanya turun. Kemungkinan surat utang mereka terancam gagal bayar.
China dan Turki.
China termasuk investor terbesar di Turki. Tentu mengalami kerugian paling besar atas terpuruknya ekonomi Turki. Namun solusi yang ditawarkan oleh China tidak disikapi serius. Mengapa ? karena sistem ekonomi china berbasis produksi. China menawarkan proposal agar Turki memperbaiki struktur ekonomi yang lebih berorientasi kepada produksi. Kalau karena itu berdampak buruk bagi dunia usaha, itu jauh lebih baik bagi jangka panjang Turki untuk mencapai kemandirian. Erdogan sepertinya lebih memilih menggedor pintu IMF untuk mendapatkan the last lending resource. Dan uang itu digunakan untuk memanjakan para pengusaha. AS sebagai pemegang saham terbesar di IMF tentu akan mempersulit negosiasi dengan IMF.
Belajar dari kasus Erdogan.
Apa yang terjadi pada Turki lebih karena ambisi Erdogan pribadi. Dia ingin menjadi khalifah dengan menyikat semua musuh politiknya agar dia dengan mudah menang pemilu. Memang berhasil. Tetapi semua itu tidak gratis. Erdogan keras kepada oposisi tetapi mengekor kepada konglomerat. Karenanya kebijakan yang dia tempuh bukanya pengetatan uang agar keseimbangan demand anda supply terjadi dan inflasi terjaga. Justru dia melonggarkan LTV kredit dan menurunkan suku bunga. Akibatnya inflasi melambung mencapai 15,9%. Mata uangpun jatuh secara otomatis. Nilai tukar mata uang Turki sudah anjlok 70 persen sejak awal tahun. Pada 1 Januari 2018, nilainya masih bertengger di angka 3,78 lira per dolar Amerika. Artinya, nilai mata uang sudah anjlok sekitar 69 persen atau mendekat 70 persen, lebih tinggi dari yang dikabarkan semula, yaitu 40 persen. Karena tidak didukung oleh fundamental ekonomi yang kokoh. Pada waktu bersamaan investor menilai kebijakan itu tak lebih seni mencetak uang secara tidak langsung. Merekapun hengkang.
Krisis Turki bukan lagi krisis ekonomi dan moneter tetapi juga krisis struktural. lebih luas lagi sudah sampai kepada krisis multidimensi. Masalahnya tidak lagi sederhana. Erdogan harus mau menyelesaikan masalah Turki secara politik. Dengan mengajak semua elite politik duduk bersama menyelesaikan masalah. Tetapi bukan itu yang dilakukan. Justru Erdogan semakin paranoid. Bahkan akan memburu ribuan akun sosmed yang mendiskriditkan Lira. Kecurigaan kepada oposisi semakin kencang. Semua karena konglomerat dibelakang Erdogan yang berjasa menjadikan dia sebagai diktator. Dan selalu solusi hanya retorika dengan menyalahkan Asing. Ya tak ubahnya dengan venezuela. Faktanya tidak ada perbaikan, malah semakin memburuk.
Indonesia dan Turki.
Indonesia jelas bukan Turki. Secara politik sistem negara sangat demokratis. Apalagi dibawah Jokowi dimana sistem demokrasi di kelola dengan baik. Perbedaan tidak sampai menimbulkan kudeta atau penangkapan masal terhadap oposisi. Secara Ekonomi sangat jauh berbeda dengan Turki. Bahwa sebagian besar utang luar negeri Turki dijamin oleh Pemerintah. Termasuk hutang swasta. Sementara Indonesia, utang korporat, perbankan, maupun negara secara keseluruhan merupakan public debt. Jadi tidak ada resiko terhadap cadangan devisa dan APBN. Semua kreditur tahu resiko itu. Jadi Pemerintah lebih mudah mengendalikan bila terjadi arus balik dana ke luar atau rush utang. Perbankan kita sehat. itu bisa dilihat CAR atau rasio kecukupan modal, NPL, yang terjaga. Sumber pendanaan tidak berasal dari negara tetapi dari perbankan sendiri. Sementara Turki , likuiditas dalam negeri sangat tergantung dari utang luar negeri. Ya kira kira sama ketika Era Soeharto di Indonesia. Makanya mudah sekali jatuh.
Walau current account defisit Indonesia mencapai 3% atas PDB, namun tidak sebesar waktu taper tantrum the Fed tahun 2015. Waktu itupun Indonesia mampu keluar dari jebakan CAD. Jadi Indonesia udah pengalaman dan terlatih menghadapi faktor eksternal. Pertumbuhan ekonomi Indonesia mencapai 5% dan itu tidak ada hubungannya dengan CAD yang tinggi seperti Turki. Inflasi Indonesia 3,5 persen dan terkendali, sedangkan di Turki sudah di atas 15 persen. Memang pengaruh eksternal atas krisis Turki akan ada dampaknya terhadap Indonesia khususnya pasar modal namun tidak significant. Pada akhirnya investor akan kembali ke bursa kita. Karena tidak mungkin terus nongkrong di haven zone seperti Swiss dan Jepang.
Walau current account defisit Indonesia mencapai 3% atas PDB, namun tidak sebesar waktu taper tantrum the Fed tahun 2015. Waktu itupun Indonesia mampu keluar dari jebakan CAD. Jadi Indonesia udah pengalaman dan terlatih menghadapi faktor eksternal. Pertumbuhan ekonomi Indonesia mencapai 5% dan itu tidak ada hubungannya dengan CAD yang tinggi seperti Turki. Inflasi Indonesia 3,5 persen dan terkendali, sedangkan di Turki sudah di atas 15 persen. Memang pengaruh eksternal atas krisis Turki akan ada dampaknya terhadap Indonesia khususnya pasar modal namun tidak significant. Pada akhirnya investor akan kembali ke bursa kita. Karena tidak mungkin terus nongkrong di haven zone seperti Swiss dan Jepang.
EmoticonEmoticon