“I miss you so." ungkapnya dengan napas tersengal dan memelukku dengan begitu erat. Aroma tubuhnya menguar menusuk indra penciumanku. Harum tubuhnya tidak berubah, masih sama sejak terakhir kali aku memeluknya.
Aku sangat terkejut karena temyata dia masih
merindukanku, setelah apa yang pernah aku lakukan padanya empat tahun yang Ialu. Aku tak melakukan pergerakan apa pun dalam pelukannya, entah itu menjawab kata n'ndunya atau sekadar membalas pelukannya. Dia merenggangkan pelukannya. Ialu meraba kepala dan seluruh wajahku.
“Kamu nyata, kan? Aku nggak lagi mimpi, kan? Jawab aku, Janny!”
“Iya, aku nyata," ucapku dengan penuh keangkuhan untuk menutupi rasa ketakutan yang kini sedang beradu dengan paru-paruku untuk mendapatkan oksigen. Aku takut bila dia bertanya banyak hal yang belum aku siapkan jawabannya.
Tuhan, aku begitu ingin balas memeluknya. Bila perlua, aku juga akan menciuminya. Tak peduli ini tempat umum dan aksiku nanti disaksikan ratusan pasang mata. Namun, gengsi, ego, dan ketakutan tak benuanku mengalahkan rasa rindu yang membuncah di dada dan membuatku masih bergeming dengan tetap menatap penuh kerinduan pada kedua matanya. Mata teduh yang selalu bisa membuat tiap detik di hidupku merasa jatuh cinta padanya. Hanya nama pria itu yang selalu memenuhi ruang hatiku selama hampir Iima tahun ini.
Belum sempat aku mengucapkan sepatah kata pun. seorang laki-laki lain menghampirinya dan mereka terlibat pembicaraan serius beberapa saat. Hal tersebut membuatku segera mengambil kesempatan ini, mengambil Iangkah seribu dari hadapannya. Maafkan. aku memang rindu. tapi aku belum
EmoticonEmoticon