Bagaimana Gaya Hidup Menjadikan Anak Smart or Stupid? Cari Tahu di Sini!

October 17, 2019

Sebenarnya apa sih tujuan  anak bersekolah? Tidak lain tidak bukan pastinya untuk mendapatkan ilmu agar menjadi lebih pintar, kan?  Lalu dengan tujuan yang baik serta usaha keras untuk mendapatkan ilmu tersebut, mengapa masih banyak siswa yang gagal? 

    Gagal yang dimaksud di sini bukan dilihat dari hasil raport rata-rata bawah, ya, namun hal yang lebih penting esensi daripada sekedar nilai, yaitu gagal dalam mengembangkan kemampuan belajar, memahami serta kemampuan menciptakan yang sebenarnya sudah mereka bawa sejak lahir.
                                    

   Foto: Pixabay.com

    Mencari tahu bagaimana ini terjadi, seorang kritikus pendidikan terkemuka dari USA yang bernama John Holt membuat sebuah penelitian dan  menuliskan hasilnya dalam bukunya yang berjudul 'Mengapa Siswa Gagal.'  

   John Holt mengatakan bahwa sebenarnya tidak ada seorangpun  dilahirkan dalam keadaan bodoh (yang dimaksud disini tentunya bayi yang dilahirkan sehat jasmani dan rohani). Beliau mengatakan bahwa faktor intern siswa terkait dengan gaya hidup mereka serta pengaruh pendidik berperan besar menjadikan siswa pintar atau bodoh. 

Pengaruh Gaya Hidup yang Menjadikan Pintar dan Bodoh

Gaya hidup yang dikatakan berpengaruh menjadikan anak bodoh atau pintar, sejatinya didasarkan bukan pada seberapa besar pengetahuan yang dia punya, melainkan pada sebuah sikap. Sikap saat seseorang berada pada situasi sulit yang dia tidak tahu harus melakukan apa. Cara berperilaku dalam berbagai situasi. Terutama pada situasi yang baru, asing dan membingungkan. 

Perbedaan Gaya Hidup Manusia Berintelegensi (cerdas) dan Nirintelegensi (bodoh)

Bagaimana sikap atau gaya hidup manusia cerdas dan belum cerdas? Ternyata hal ini bisa dilihat dari berbagai sikap saat menghadapi situasi baru, saat menemukan kegagalan dan hal yang lain akan ditemuinya. Berikut ulasan yang bisa dijadikan patokan ya, Guys!

Perilaku Saat Menghadapi Persoalan atau Situasi Baru

Orang cerdas baik muda atau tua ketika menghadapi suatu persoalan atau situasi baru akan membuka diri terhadap situasi tersebut. Dia mencoba memahami sesuai pikirannya dan mempersepsikan segala sesuatu menurut kesanggupannya. Alih-alih memikirkan dirinya sendiri atau apa yang mungkin akan terjadi pada dirinya, dia bergumul dengan persoalan dan situasi baru itu dengan berani, imajinatif, pandai, percaya diri, atau paling tidak penuh pengharapan.

Hal ini sangat berbeda dengan non intelegensi. Nir Intelegensi (non intelegensi) merupakan cara berperilaku yang lahir dari serangkaian sikap yang  benar-benar berbeda. Anak yang cerdas selalu ingin tahu tentang hidup dan realitas, sigap untuk berhubungan dengannya, merengkuhnya serta menyatukan diri dengannya. Tidak ada tembok pemisah atau rintangan antara dia dan kehidupan.

Anak yang bodoh sangat kurang ingin tahu, jauh kurang tertarik dengan apa yang terjadi dan nyata, lebih senang hidup dengan angan-angan. Anak yang cerdas senang melakukan percobaan, mencoba hal-hal baru. Anak cerdas hidup sesuai rumus bahwa ada lebih dari satu cara dalam mengalahkan kesulitan. Anak yang bodoh biasanya takut mencoba cara apapun, bahkan dibutuhkan usaha keras untuk meyakinkan agar dia mau mencoba bahkan sekali saja. Bila percobaan yang dia lakukan itu gagal, dia selesai.

Kesabaran Saat Menemukan Kegagalan

Anak yang cerdas biasanya sabar, sanggup bertoleransi terhadap ketidakpastian serta kegagalan, dan akan terus mencoba sampai menemukan jawabannya. Ketika menemukan kegagalan, mungkin saja itu akan mengganggunya tetapi dia bisa bersabar. Namun tidak dengan anak bodoh, setiap kali pertanyaan yang tak terjawab bukan merupakan tantangan atau kesempatan, melainkan suatu ancaman. Artinya, jika dia tidak segera menemukan jawaban maka dia ingin jawaban diberikan dengan segera.

Merasa Dirinya Banyak Tidak Tahu

Anak yang cerdas bersedia terus maju karena merasa dasar pengetahuan yang mereka punya tidak sempurna. Mereka bersedia bersusah payah untuk mendapatkan petunjuk apa yang dia tidak tahu.Sebagai contoh, anak-anak cerdas akan selalu membaca buku yang belum dipahami dengan harapan agar setelah beberapa waktu ia menjadi paham sehingga dia tahu pentingnya membaca.

Anak cerdas merasa bahwa alam raya secara keseluruhannya dapat dipersepsi, rasional, dan merupakan tempat yang nyaman. Sementara anak-anak bodoh akan merasa bahwa alam raya ini tidak dapat diprediksi serta berbahaya. Dia merasa bahwa dia tidak pernah dapat memperkirakan apa yang mungkin terjadi, terlebih lagi dalam situasi baru.

Dari banyak uraian diatas, jadi apa yang bisa ditangkap? 

Hal pertama adalah bahwa tidak ada seorang  yang dilahirkan dalam keadaan bodoh.  Analoginya seperti ini, dalam  proses pembelajaran seorang bayi sampai masa kanak-kanak, gerak-geriknya memperlihatkan gaya hidup, hasrat penuh serta kemampuan belajar yang bisa kita sebut jenius. 

Perhatikan perkembangan bayi manusia mulai dari mendengar, belajar, mengamati, berjalan, berlari, menirukan, berbicara sampai pada kemampuan yang lainnya,  mengalami perkembangan yang pesat tentang dunia ini hanya dalam tiga tahun saja, betul, kan? 

Dan amazingnya kalau kita cari tahu lebih dalam lagi, ternyata hampir tidak ada satupun dari seribu atau sepuluh ribu orang di dunia ini yang sanggup belajar pesat selama tiga tahun dalam hidupnya seperti layaknya bayi.   Wow Masya Allah ya.

So, bercermin pada tingkat intelegensi seorang bayi, seseorang dikatakan pintar atau tidak, bukan berfokus pada seberapa besar pengetahuan dalam cara bertindak melainkan cara berperilaku saat dalam situasi yang blurr, saat berada dalam situasi tidak tahu apa yang dilakukan. Intelegensi yang dimaksud adalah suatu gaya hidup, cara berperilaku dalam berbagai situasi, terutama situasi yang baru,asing dan membingungkan.

Dari penjelasan di atas juga tersurat bahwa sebenarnya  intelegensi bisa anak raih jika mereka menerapkan gaya hidup orang cerdas. Namun sayangnya terkadang tidak kita sadari banyak kreativitas  dan intelektual anak-anak hilang karena beberapa kesalahan orangtua dan guru. Faktor intern dan extern dari lingkungan sekitarnya begitu berdampak dalam kecerdasan anak. 

Dan bagaimana dengan penulis sendiri?

Hihihi...bagi saya sendiri, saya merasa bertambahnya umur jadi kurang cerdas.  Kalau dipikir-pikir mungkin itu karena faktor umur dan salah satunya juga karena gaya hidup non intelegensi yang saya terapkan. Jadi malas, masa bodoh, tidak sabaran, maunya selalu di comfort zone apa saja gampang didapat tanpa banyak usaha.  Padahal semua itu buat pengaruh nggak baik ke depannya, ya.  but well..setelah tahu sadar akan kelemahan diri dan  mau merubah gaya hidup jadi cerdas sekarang tampaknya tidak terlambat, bukan? Hehehe...




Share this

Related Posts

Previous
Next Post »