alfabet itu masih memenuhi pandanganku. Kuperbaiki posisi syal ra jut tebal yang meliliti leher sampai menutupi separuh wajah. Mataku lalu mengekor dua orang yang baru saja meninggalkan meja dan me lenggang keluar dari restoran. Dari balik dinding kaca, aku mengawasi mereka melangkah gontai ke area parkir di sayap kiri bangunan. Jarak nya cukup dekat sehingga aku masih bisa melihat jelas wajah kedua nya. Si perempuan bertubuh molek tersenyum sambil menyelipkan be lahan samping rambut berpotongan bob miliknya ke belakang telinga saat si lelaki membukakan pintu mobil untuknya. [aki laki itu tampak
tersenyum saat melangkah menuju pintu kemudi. “Bisa kita makan sekarang?” suara bosan Tami memecah konsen
trasiku. “Bagaimana menurutmu? Mereka berdua ada hubungan spcsial,
kan?” tanyaku balik. Mataku masih mengawasi mobil yang bergerak
menjauhi restoran. “Kelihatannya perempuan itu cuma klien,” kata Tami dengan nada
amat meyakinkan. Aku tak tahu bagaimana dia bisa seyakin itu.
“Lihat, lihat!” kataku menyodorkan tisu di tanganku.
“Hmm... sweet. Tapi, menurutku puisi ini bukan untuk perempuan itu. Mungkin ini buat kamu malahan."
Aku memutar bola mata mendengar komentar yang sangat tidak rasional itu. Puisi ini untukku? Tidak mungkin. Namun, aku tak bisa me nahan diri untuk tak bertanya mengapa pikiran itu bisa muncul di kepala
Tami. “Kenapa begitu?” “Karena dia meninggalkannya di sini, bukannya ngasih ke perem
puan itu.” Aku mengemyit, masih tak paham dengan jalan pikiran Tami. Mung
kin perutnya yang lapar membuat dirinya menjawab secara asal. “Alasan
EmoticonEmoticon