Pertumbuhan Industri dan manufaktur

October 23, 2018

Negara modern karena didukung oleh Industri yang kuat. Dari Industri dan manufaktur itulah akan terserap angkatan kerja dan menghasilkan nilai tambah bagi bangsa dan negara.  Di Indonesia paska reformasi  pertumbuhan industri sangat lambat, bahkan terjadi deindustrialisasi.  Walau tahun 2000-2001 era Gus Dur pernah mencapai pertumbuhan sebesar 23,85 ( 2000) ke 25,2%  (2001) karena sektor pertanian dan perdagangan turun drastis namun selanjutnya era Megawati dan SBY kontribusi industri terhadap PDB terus menurun. Selama era Megawati (2001-2004) dapat dikatakan telah terjadi deindustrialisasi. Hal ini karena angka kontribusi manufaktur terhadap PDB cenderung menurun, dari 24,8% (2002), 24,5% (2003) hingga ke 23,9% (2004). Selama era SBY (2004-2014) dapat dikatakan juga telah terjadi deindustrialisasi. Hal ini karena kontribusi manufaktur terhadap PDB terus turun secara signifikan, dari 22,4% (2005) hingga 17,8% (2014).

Atau bisa dikatakan sejak era Reformasi kita mengalami proses deindustriliasasi. Apa penyebanya ? Pertama adalah rendahnya dukungan perbankan. Kredit perbankan ke sektor industri secara absolut memang tumbuh, tetapi persentasenya makin rendah. Tahun 2008, industri manufaktur hanya memperoleh 15% kredit perbankan. Salah satunya karena banyak industri dianggap bermasalah atau masuk kategori sunset industry. Kedua, masih lemahnya dukungan universitas dan lembaga riset di negeri ini dalam membantu mengatasi masalah riil yang dihadapi oleh industri. Hal ini menyebabkan lambatnya transfer teknologi, penetrasi pasar ekspor, dan pengembangan produk maupun proses produksi. Indonesia sudah tertinggal dari Negara-negara lain dalam kemitraan dunia usaha dan universitas. Pengalaman di Jepang, sebagai ilustrasi, kemitraan ini amat mendukung pengembangan sistem inovasi nasional, universitas dan industri dapat bersama-sama mengelola ketidakpastian teknologi, dan juga memanfaatkan sistem kekayaan intelektual (Watanabe, 2009).

Ketiga, rendahnya daya saing produk dalam negeri. Banyak faktor yang menyebabkan rendahnya daya saing. Diantaranya karena faktor energi, infrastruktur, dan regulasi. Faktor utama lain yaitu tingginya penetrasi barang konsumsi impor karena tidak adanya kebijakan proteksi untuk idustri substitusi import. Hal ini diperparah dengan ditanda tanganinya perjanjian ACFTA, yang mengakibatkan semakin terpuruknya industri Indonesia, khususnya tekstil, karena kalah harga dan kualitas dengan produk China. Keempat, stabilitas keamanan Indonesia yang masih terganggu. Isu utama keamanan di Indonesia adalah terorisme, yang dipicu oleh rangkaian peledakan bom di Indonesia seperti bom bali dan JW-Marriot. Isu terorisme ini menghambat tumbuhnya investasi di Indonesia. Kelima stabilitas ekonomi. Krisis ekonomi global memang berdampak pada ketidakstabilan ekonomi dunia. Industri cenderung melambat tumbuhnya.

Di era Jokowi, permasalahan tersebut diatas sangat dipahami. Jokowi focus membenahi hal yang menghambat tumbuhnya industri tersebut. Sektor perbankan di benahi, deregulasi sektor industri di perluas agar mengundang kemitraan  dari negara yang maju bidang riset dan tekhnologi. Infrastruktur dibangun meluas di seluruh Indonesia agar bisa menekan biaya logistik bagi industri dan manufaktur.  Sehingga bisa meningkatkan daya saing industri dalam negeri. Pemerintah juga meningkatkan tarif impor agar industri yang mrmproduksi barang substitusi impor terlindungi dan terjadi perluasa kesempatan bagi semua membangun industri subtitusi impor. Dari upaya itu terbukti tahun 2017 rangking easy of doing business  ( EOD) menjadi 72. Padahal tahun 2008 rangking kita di dunia adalah 129. Artinya terjadi peningkatan significant. Index infrastructur juga naik. Data Global Competitiveness Index 2017 menunjukkan indeks daya saing infrastruktur Indonesia pada 2017-2018 berada di urutan ke-52 dari posisi sebelumnya di periode 2015-2016 yang masih berada di posisi 62.

Nah apa dampaknya terhadap pertumbuhan industri ? Walau tidak otomatis tumbuh pesat. Karena yang namanya industri itu dibangun butuh waktu tidak sebentar. Namun selama Era Jokowi pertumbuhan industri terjadi terus dari tahun ke tahun.  Kontribusi industri dan manufaktur terhadap PDB tahun 2015 adalah 18,19%, kemudian tahun 2016 naik tipis menjadi 18,20%. Tahun 2017, secara keseluruhan, industri manufaktur menyumbang Rp2.103,07 triliun bagi ekonomi Indonesia, atau sekitar 21,22% dari PDB. Pertumbuhan produksi industri manufaktur besar dan sedang di kuartal II-2018 disokong oleh beberapa sektor yang tumbuh cukup solid, antara lain industri kulit dan alas kaki (+27,73% YoY), industri karet dan plastik (+17,28% YoY), industri minuman (+15,41% YoY), industri pakaian jadi (+14,63% YoY), dan industri alat angkutan lainnya (+12,34% YoY). Dari data lainnya, pertumbuhan produksi industri manufaktur mikro dan kecil meningkat sebesar 4,93% YoY pada periode kuartal II-2018 ini. Catatan tersebut jauh mengungguli pertumbuhan di periode yang sama tahun lalu sebesar 2,50% YoY. Lima sektor industri manufaktur mikro dan kecil yang tumbuh paling pesat di kuartal lalu adalah industri bahan kimia (+25.55% YoY), industri percetakan dan reproduksi media rekaman (+24,42% YoY), industri logam dasar (+22,70% YoY), industri peralatan listrik (+12,42% YoY), dan industri komputer dan barang elektronik (+8,46% YoY).


Mungkin tak pernah kita sangka sebelumnya bahwa kontribusi sektor industri nasional terhadap produk domestik bruto (PDB) nasional tergolong tinggi yakni mencapai 22%. Besarnya peranan itu membawa kapabilitas manufaktur Indonesia masuk deretan negara dengan kontribusi industri terbesar pada struktur PDB. Jika dilihat kontribusi (sektor industri) pada PDB, Indonesia berada di urutan empat di bawah  Korea Selatan, Tiongkok, dan Jerman. Kemampuan industri Indonesia tentu jauh di atas negara-negara ASEAN lainnya. Bahkan ditambah industri turunannya, kontribusi manufaktur lebih dari 30%.  Ini merupakan fakta bahwa proses pembangunan era Jokowi tidak ugal ugalan. Indikator tumbuhnya industri adalah fakta bahwa negara dikelola secara modern dengan perencanaan yang terukur dan rasional serta berspektrum jangka panjang. Paling tidak tingkat kemiskinan, tingkat pengangguran, dan rasio Gini turun. Kalau masih ada yang meragukan dan bahkan menuduh negatif bahwa era Jokowi tidak ada kemajuan maka itu tidak beralasan. 

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »