Jokowi mengungkapkan kekesalannya kepada Direksi dan dewan pengawas BPJS Kesehatan. Menurut Jokowi, terjadinya defisit keuangan menunjukkan peran manajerial BPJS Kesehatan belum maksimal. Persoalan ini sebetulnya sudah terjadi sejak tiga tahun lalu. Maklum keberadaan team BPJS kesehatan terpilih di era SBY sebagai pencetus UU SJSN. Jadi Jokowi dapat warisan team seperti itu. Seharusnya urusan BPJS kesehatan ini tidak perlu sampai menjadi polemik nasional kalau Menteri kesehatan punya power dihadapan BPJS kesehatan atau BPJS Kesehatan telah melaksanakan fungsi menejerial dengan benar. Tetapi akhirnya terpaksa Jokowi harus turun tangan menyelesaikan defisit BPJS.
Yang jadi masalah adalah BPJS kesehatan sebagai tindak lanjut dari UU SJSN memang lebih terkesan politik daripada sosial ekonomi. Semua direksi BPJS adalah afiliasi partai. Seharusnya BPJS kesehatan tidak hanya bertugas sebagai insurance provider yang hidup dari rente atau premi asuransi. Tetapi juga sebagai fund provider yang bertugas memayungi amanah UU SJSN. Gimana caranya ? BPJS harus berperan melakukan revitalisasi sistem pelayanan kesehatan secara nasional. Bukan hanya rumah sakit dan klinik tetapi juga lingkungan yang sehat. Yang direvitalisasi bukan hanya dari sisi hadware tetapi juga software berupa skill tenaga dokter dan paramedis serta administrasi pelayanan.
BPJS juga harus aktif mendukung lahirnya industri pharmasi yang bisa menghasilan produksi obat murah. Di china ada obat yang hampir semua rakyat pedesaan kantongi obat ini. Sakit ringan seperti batuk, filek, diare, demam, digigit serangga, ular, dapat sembuh dengan obat tersebut. Obat ini lahir dari riset China academy science. Kemudian diproduksi massal dengan harga murah ( kalau uang rupiah Rp. 3000 untuk 10 tablet ). Mengapa murah ? karena disubsidi oleh BPJS China. Jadi dapat dipastikan yang datang ke RS untuk berobat hanya orang yang kena penyakit yang memang butuh tindakan medis secara menyeluruh. Makanya BPJS China walau awalnya investasinya besar namun setelah beroperasi selalu untung dan kini menjadi fund provider berkelas dunia.
Kalaulah BPJS Kesehatan melaksanakan manajerial yang benar, saya yakin engga mungkin bisa rugi atau defisit. Mengapa ? saat sekarang udah ada pemaksaan sesuai PP 86/2013 dengan menyertakan sanksi hukum bagi yang tidak ikut BPJS kesehatan. Artinya siapapun yang tidak ikut BPJS akan menghadapi masalah untuk mendapatkan pelayanan adm seperti KTP , Passport. Harusya BPJS bekerja keras menarik sebanyak mungkin peserta BPJS. Tentu penawaran itu bukan hanya berdasarkan aturan yang memaksa tetapi juga BPJS bisa membuktikan bahwa produk layanan kesehatan via BPJS memuaskan secara sistem bagi publik maupun stakeholder. Selama ini BPJS engga focus kesana. BPJS justru menggandeng pemda untuk melaksanakan program BPJS gratis lewat subsidi. Hampir semua calon kepala daerah mengusung program populis menawarkan berobat gratis. Nyatanya sebagian besar nunggak.
Apa yang terjadi ? data tahun 2017, dari 116 juta peserta BPJS yang non PBI ( bayar premi ) hanya sebanyak 10,54 juta peserta atau hanya 9% dari total peserta. Jadi wajar saja rugi karena lebih banyak yang disubsidi daripada yang bayar premi non PBI atau mandiri. Padahal seharusnya lebih banyak yang mandiri ( bayar premi ) daripada yang disubsidi. Dan lagi preminya cukup rendah bagi orang dengan penghasilan UMR. Kalau peserta mandiri lebih banyak maka tidak mungkin BPJS rugi atau defisit. Apa ada asuransi yang rugi didunia ini ? engga ada. Kecuali dibegoin sama pengelolanya. Saya yakin, tahun 2019 masa jabatan direksi berakhir.Kalau Jokowi menang pemilu, semua pasti akan digusur oleh Jokowi dan diganti dengan yang lebih mumpuni.
EmoticonEmoticon