Cerita Sebelumnya:
Menjelang, subuh angin berhembus semakin dingin. Suara burung hantu sudah berlalu. Lolongan anjing malam pun senyap-senyap menghilang. Rembulan terlihat lelah setelah semalaman bersembunyi di balik awan.
Diko, Rudi, dan Riko bergegas menuju sosok bayangan yang tergeletak di pinggir sumur. Bulu kuduk yang sedari tadi berdiri, kini lenyap karena motivasi dan keingintahuan. Mereka juga semakin berani karena lantunan Ayat Suci Al-Quran menunggu azan subuh dari masjid seberang terdengar dengan jelas.
Kini mereka tepat berada di depan siswa yang terbaring tepat di samping sumur. Itu adalah Juno bukan Jamal. Diko masih heran, karena Juno terakhir mencari Jamal bersamanya di WC dekat ruang Audio. Namun kini terbaring di samping sumur.
Lirih mereka dengar suara tangisan Juno. Aneh memang, anak gaul dan metal seperti Juno menangis sembari tertidur. Tangisannya pun pelan, matanya terpejam, tapi mengeluarkan airmata.
“Jun… bangun Jun, ayo kita solat, ngapian kamu tidur di sini. Di sini kotor.” Rudi memecah keheningan.
Juno tetap menangis seolah tak mendengar perkataan Rudi. Kini giliran Riko memegang badan Rudi, bersiap mengangkat tanganya untuk ke Masjid.
Juno tetap bergeming. Tangisannya malah semakin keras terdengar.
Mereka bertiga bertatapan. Kini Giliran Diko, dengan membaca Solawat Nabi, ia balikkan tubuh Juno yang miring menghadap sumur.
Juno Menjerit……….. “aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa”
Jeritan Juno sangat kencang, hingga membuat Riko dan Rudi mundur dan hampir berlari meninggalkan Juno dan Diko, beruntung mereka urungkan niat itu. Mereka kembali mendekati Diko.
Diko sebenarnya masih belum tahu apa yang ia lakukan, tapi dalam kondisi seperti ini, ia hanya berharap Allah akan membantunya.
Meski gemetaran, Diko menyuruh Rudi dan Riko membaca Ummul Kitab dengan keras. Setelah itu Diko membaca Ayat Kursi. Selesai Ayat kursi dibacakan Juno mereda, seperti orang kebingungan. Ia Nampak linglung. Karena Azan telah berkumandang, maka mereka bertiga menggandeng Juno untuk bergegas menuju Masjid di seberang sekolah.
Juno masih terlihat linglung, ia mengekor. Tapi tak mau masuk masjid, ia beralasan bajunya kotor. Ia hanya duduk di teras Masjid.
Usai solat, Juno kembali menangis di emperan. Sontak membuat jamaah yang baru selesai solat dan berzikir, berkurumun. Imam masjidpun dengan segera menghampiri Juno setelah Diko memberi tahu Imam masjid tentang duduk persoalannya. Kebetulan, Pak Habib, Imam Masjid dulu pernah dan bahkan sering merukhiyah tetangga di desanya sebelum pindah ke Muara Bulian.
“Di sumur itu ada Jamal, Jamal mati di sumur itu… hu..hu..hu…” kalimat itu terus diulang-ulang ketika proses rukhiyah akan dilakukan. Pak Habib memang suka mewancarai seseorang yang terindikiasi kesurupan, termasuk pada Juno pagi itu.
“Siswa cowok, satu-persatu akan mati sia-sia di sumur itu.”
Setelah tiga puluh menit proses rukiyah yang dibantu oleh jamaah solat Subuh, Juno memuntahkan cairan. Sesaat setalah itu ia sadar, namun sangat lemas.
Imam masjid dan jamaah masjid sama sekali tak menghiraukan kicauan Juno saat ia kesurupan. Namun tidak untuk Diko.
Diko memutuskan tak memberi tahu bahwa Jamal menghilang. Karena Diko pun masih ragu, apa benar Jamal menghilang atau malah dia sudah pulang sejak tadi malam. Rudi dan Riko tampak biasa saja, hampir sama dengan Imam masjid dan jamaah solat subuh. Menganggap kesurupan Juno adalah hal yang biasa, karena mungkin Juno saat itu tengah melamun sehingga fikirannya kosong dan mudah untuk dirasukin Jin jahat.
Diko pendam sendiri permasalahan itu. SMSnya pada Jamal belum juga dibalas. Jangankan dibalas, dibaca saja tidak. Kecurigaan Diko pun semakin menguat. Memang benar orang kesurupan tidak boleh dipercaya, tapi apa salahnya untuk melakukan penyelidikan, siapa tahu Jamal memang menghilang.
Pagi-pagi sekali Diko dan teman-teman OSIS masih sibuk untuk mempersiapkan perlombaan bulan Bahasa. Pembina OSIS dan Wakil Kesiswaan memberi dispensasi untuk panitia perayaan bulan bahas untuk tidak belajar di dalam kelas hari itu.
Pengurus OSIS biasa saja, tampak seperti tak ada kejadian apapun. Bahkan Juno yang tadi pagi kesurupan pun telah kembali ikut membantu mempersiapkan lomba. Namun Jamal tidak ada.
Nuri, si Ketua OSIS sibuk mengutus panitia dari kelas X untuk menjemput ke kelas Jamal. Namun, Jamal tidak ada. Akan tetapi, motor Jamal ada diparkiran, tepat di mana terakhir tadi malam ditinggalkan.
Diko, Rudi, Riko, dan Juno tiba-tiba dipanggil Pembina OSIS, Sensei Sari. Ya Sensei, karena Bu Sari adalah guru Bahasa Jepang.
Ternyata benar, Jamal tidak pulang sejak tadi malam pamit mengerjakan tugas OSIS. Mulailah sekolah dan majelis guru gempar. Permasalahannya, motor Jamal ada di parkiran sekolah. Mulailah teori-teori berseliweran; ada yang memprediksi Jamal pergi ke rumah kawanya dan kesiangan; ada yang beranggapan Jamal pergi ke rumah kakeknya karena baru saja ada masalah dengan orangtua, bahkan ada yang mengira Jamal diculik. Macam-macam saja teori-teori guru SMANDELAS.
“Bisa jadi Jamal ada di dalam Sumur.” Pekik Diko yang saat itu duduk di majelis guru bersama orang tua Jamal, kepala sekolah dan beberapa guru yang sedang tidak mengajar.
Ekspresi wajah guru terbagi dua, ada yang kelihatannya percaya, tapi lebih banyak yang mengacuhkan perkataan Diko.
“Dari mana Nanda Diko yakin, kalau Jamal ada di dalam sumur. Terus kenapa juga Jamal ada di dalam sumur, sumur yang mana?” Pak Hamdan, sang Kepala Sekolah yang sebenarnya tidak percaya namun mencoba menghargai pendapat Diko.
Tadi pagi Juno kesurupan, dan ketika dia kesurupan Juno beberapa kali mengatakan Jamal ada di dalam Sumur, sumur tua yang ada di depan kelas XII Mia 4.
Mayoritas guru termasuk orang tua Jamal meremehkan pendapat dari Diko. Karena hari gini, orang kesurupan susah untuk dijadikan rujukan. Apalagi orang kesurupan bersumber pada Jin jahat. Mana mungkin manusia haru percaya pada Jin.
Rudi, Riko, dan Juno sebenarnya ingin membela Diko, namum mereka terbawa suasana. Tak ingin dianggap siswa yang tak rasional.
Akhirnya, Diko merasa terpanggang. Seperti dikuliti, tak ada satupun yang mempercayainya.
“Bapak, Ibu apa salahnya kalau kita sama-sama mencari Jamal di dalam sumur. Barangkali ada di sana. Dari pada kita duduk di kantor ini dan tidak ada aksi apapun.” Diko masih belum menyerah untuk meyakinkan semua yang ada di kantor.
“Jangan percaya sama Takhayul Diko.” Salah satu guru menimpali.
“Ya sudah, Bapak Ibu. Karena Diko dan kawan-kawannya sejak tadi malam bersama Jamal. Tak ada salahnya kalau kita cek bersama-sama.” Pak Hamdan telah memutuskan.
Maka bersama-sama mereka bergerak menuju sumur tua. Pak Hamdan menelfon Bang Saini penjaga sekolah dan Udha Ardi kepala security untuk barangkali jika dibutuhkan untuk masuk ke dalam sumur.
Setibanya di sumur, Bang Saini dan Udha Ardi yang telah menyiapkan Bambu panjang, menjulurkan ke bawah. Sumur itu sejatinya tidak terlalu dalam. Hingga sampai ke air, hanya sekitar tiga meter. Kedalaman air pun tak seberapa, mungkin hanya satu meter setengah.
Sumur saat itu tertutup sampah plastik bekas jajanan kantin. Sekitar lima belas menit lamanya bambu mengaduk-aduk sumur, namun tidak ada tanda-tanda tubuh manusia di dalam.
Untuk meyakinkan, Bang Husaini bersedia untuk masuk ke dalam sumur. Agar menjaga keamanan, udha Ardi, mengambil tali tambang yang ada di gudang.
Hasilnya pun nihil.
“Diko, sudah puas dengan takhayul? buang-buang waktu saja.” Salah seorang guru tampak kesal dengan Diko.
Diko pucat pasi, keringat dingin keluar. Ia merasa tak keenakan. Ia gemetaran, karena telah mengecewakan guru-guru, dan orangtua Jamal. Ia benar-benar seperti terpanggang. Seolah seluru jari menunjuk kepadanya. Malu sekali, ia menyesal. Andai ia tidak mengelurakan ide itu sebelumnya.
Bersambung
Jumat Kliwon, 29 Mei 2020
EmoticonEmoticon