“Boikot pariwisata Indonesia…!!!”
“Pemerintah China harus tegas terhadap Indonesia…!!!”
“Sebrutal apakah kau, Indonesia…?”
“Hentikan bantuan asing ke Indonesia…!!!”
“Masukkan kebrutalan Indonesia di buku sejaran kita…!!!”
Itulah beberapa potongan protes keras blogger China sebagai reaksi atas film “The Act of Killing/Jagal”. Mengejutkan tentunya, di tengah peningkatan hubungan Indonesia dan China hingga melejit sebagai poros kekuatan baru dunia. Juga di tengah perayaan keberagaman di tanah air, pasca kepimpinan Abdurahman Wahid. Tiba-tiba terdengar reaksi mengejutkan, yang kontan menjadi sorotan dunia.
Saya yang benar-benar tidak pernah mendengar judul film ini, menjadi sangat penasaran (padahal film ini telah diputar sejak tahun 2012, namun kembali muncul di permukaan akhir-akhir ini). Sehebat itukah film “Jagal” sehingga berhasil membuat tegang rakyat China? Sebrutal itukah Pemuda Pancasila sehingga berhasil mencipta rasa curiga etnis Tionghoa? Dalam benak saya sangat khawatir, jika yang tegang antar pemerintah (G to G) saya tidak takut, namun jika yang tegang rakyat dengan rakyat (people to people) ini pertanda bahaya.
Mengapa saya katakan demikian? Karena sudah berapa kalikah pemerintah Indonesia dan Australia bersitegang? Tapi tetap saja, banyak wisatawan yang berkunjung ke Indonesia, pertukaran pemuda tetap berjalan, perdagangan tetap berkelanjutan. Ini disebabkan ketegangan hanya sebatas antar dua pemerintahan, yang biasanya sedikit banyak dipengaruhi faktor politis. Namun, jika ranah people to people sudah terusik, tidak menutup kemungkinan dapat mempengaruhi kerukunan dalam keberagaman di tanah air yang selama ini telah tertata rapi.
Rasa penasaran membimbing saya untuk menjamah Youtube. Dari kata kunci, saya hanya mendapatkan beberapa pilihan versi trailer dan teaser. Sulit sekali mencari versi utuh. Saya hampir saja putus asa karna tidak bisa menonton keseluruhan isi film. Lalu saya cari tahu penyebabnya, dan ternyata benar film ini belum resmi diputar di tanah air, dan mendapat larangan untuk diputar. Untuk mengobati rasa kecewa, sayapun menonton beberapa potongan-potongan film garapan Joshua Oppenheimer, direktur film kelahiran Amerika Serikat. Namun, Alhamdulillah ketika beberapa potongan film selesai saya nikmati, di samping kanan layar youtube terpampang pilihan dengan durasi penuh, 2:39:42. Tanpa membuang-buang waktu, saya langsung tonton video streaming tersebut. Dua jam lebih saya luangkan waktu untuk membunuh rasa penasaran.
Kesan saya sebagai seorang yang awam akan kritik film (dan belum pernah belajar bagaimana mengkritik film) tiba-tiba saja refleks bergumam “film ini subjektif, banyak kejanggalan, dan penuh sandiwara.” Tapi sekali lagi penilaian saya ini hanya sekedar dari opini seorang penikmat, bukan pengamat atau kritikus film. Namun, bukankah tujuan pembuatan film ditujukan untuk orang awam, bukan untuk kritikus film bukan? Jika memang demikian, perkanankan saya memberikan penilaian pada “kata orang” mahakarya yang mendapat nominasi film dokumenter terbaik versi Oscar.
1. Film ini terkesan subjektif. Saya beberapa kali menikmati film dokumenter, dan rata-rata direktur/sutradara film melakukan penelitian yang mendalam. Namun filem “Jagal’ ini terkesan dibuat terburu-buru dan asal jadi. Malahan, Joshua sendiri yang mengatakan bahwa film “Jagal” merupakan imajinasi dari tokoh utama. “Sekalipun inti dari film ini adalah tentang imajinasi seorang pelaku pembantaian massal, dan bukan sebuah penelitian ‘forensik’ yang mencoba merekonstruksi sebuah peristiwa sejarah, saya tetap berupaya sekerasnya untuk bisa menggambarkan situasi pada masa itu dengan seakurat mungkin” (Joshua, 2012, petikan wawancara Radar Bogor). Apakah kita begitu saja percaya dengan “fim sejarah” yang seharusnya menguak fakta, namun malah bepijak pada imajinasi tokoh-tokoh yang skalanya sangat terbatas?
2. Anwar Congo, pelaku utama sekaligius nara sumber primer, malah memprotes keras film ini. Ada dua keberatan yang mendasari protes Anwar Congo; yang pertama adalah dirinya sampai saat ini tidak dipertontonkan versi akhir film. Film yang telah ditayangkan di berbagai negara seperti Canada, Amerika Serikat, dan Denmark ini malah tidak dipertontonkan dan dimintakan persetujuan akhir dari si sumber utama. "Sampai sekarang saya tidak pernah lihat, filmnya (Tempo, 2012). Keberatan yang kedua adalah, Joshua secara sepihak mengganti judul yang sebelumnya telah disepakati “Arsan dan Aminah” menjadi “The Act of Killing”. Anwar Congo merasa dikibuli dengan pergantian judul sepihak ini. "Saya merasa ditipu, judulnya diubah. Judul awal film itu adalah Arsan dan Aminah” (Tempo, 2012). Masihkan kita mempercayai kredibilitas “The Act of Killing” yang malah diprotes sendiri oleh pemain dan sumber utama film itu sendiri?
3. Ada banyak sekali scene yang sebenarnya salah, dan diakui sendiri oleh para pelaku di dalam film. Jika Anda berkesempatan menonton atau menonton ulang film ini, mari sama-sama kita buka film pada menit-menit berikut ini: (1) 0:28:45, Anwar Congo: “Saya yang salah ini, salah ini”..., (Kalau salah kok masih tetap ditayangkan, tidak dirubah?); (2) 1:25:38, Anwar Congo: “Untuk ketawa-ketawa masih ada, untuk keluarga bisa, humor, bisa melihat pemandangan..” (Untuk sekelas film yang mencoba menguak fakta sejarah, bolehkah memanipulasi isi dan setting cerita agar bisa menghibur penonton?); (3) 1:28:26, Anwar Congo: “Apalagi kurangnya, lupa (adegannya)…” (Sampai begitukah settingan sutradara, sehingga pelaku sendiri lupa apa yang telah diyakini ia lakukan sendiri?); (4) 1:14:37: “Mungkin lokasinya berbeda… di hutan, cara koboi, ada perbedaan sedikit” (Kalau begitu cerita dokementer ini tidak bisa dipercaya dong, kok banyak sekali yang berbeda?); (5) 2:01:36, Anwar Congo (mengomentari adegan pembantian dan pembakaran rumah): “Saya terus terang, kok sampai begini… yang saya harapkan tidak begini kali…” (Lagi-lagi cerita ini banyak yang di buat-buat, serta terlalu didramatisir).
Sebenarnya masih banyak potongan-potongan adegan, yang terus terang saya sendiri tak habis fikir kenapa ini film mendapat penganugerahan dokumenter terbaik di Eropa. Ternyata film yang didasari pada imajinasi, bersifat subjektif dan tidak berimbang, banyak plot dan cerita yang salah, banyak settingtempat yang berbeda; bisa juga dianugerahi award. Apakah ada misi di balik pemberian award ini? Padahal saya membaca di berita online, banyak sekali penonton dari Amerika Utara dan Eropa yang tidak memberi apresiasi positif pada karya imajiner yang berlokasi syuting di Medan.
Otjih Sewandarijatun (2013) mencurigai film “Jagal” mendapat dukungan dari tahanan politik barat yang berbasis di Inggris bekerjasama dengan Bertha Foundation dan Picturehouse Cinema. Tujuan utama Tapol ini tidak lain menekan pemerintah Indonesia untuk meminta maaf pada tragedi PKI di tahun 1965. Kecurigaan Otjih Sewandarijatun tentu dapat menjawab dari mana Joshua mendapatkan dana dan peralatan lengkap untuk produksi film. Bahkan Johan Weiner (2013) sercara terang-terangan menuliskan “Jagal” didanai langsung oleh pemerintah Barat. Namun Weiner tidak memberi keterangan lebih lanjut siapa pemerintah Barat, Amerika atau Inggris. Jika Otjih mengupas keterkaitan film ini dengan tahanan politik, biarkan saya menaruh kecurigaan pada aspek lain.
Saya curiga, film ini sengaja dijadikan sebagai alat propaganda pemecah belah persatuan bangsa Indonesia. Sebagai sarana memperburuk hubungan bilateral China dan Indonesia. Kita tentunya paham tentang China dan Amerika (Sekutu utama Inggris) tengah sibuk memperebutkan dominasi ke negara Indonesia. Indonesia diibaratkan gadis cantik yang menjadi primadona dua pemuda perkasa bernama China dan Amerika. Tentu saja, mereka akan melakukan banyak cara untuk menaklukkan hati Indonesia. Nah saya menaruh curiga, film ini sengaja didanai sebagai proyek agar terjadi gesekan antara China dan Indonesia, dan akhirnya Amerika dengan leluasa kembali menguasai pasar dan ekonomi Nusantara. “Tapi secara bersamaan, film ini adalah film Amerika -dibuat oleh orang Amerika – tentang Amerika” (Joshua Oppenheimer: 2013, dikutip dari Theguardian). Dalam tulisananya yang membahas tentang “The Act of Killing” Jonah Weiner (2013) menekankan dibalik pembuatan ini ada cerita tentang kebijakan politik Indonesia dari yang “pro-China” hingga “pada kebijakan anti Komunis”.
China, Indonesia, dan Amerika
Siapa sih yang tidak meragukan kekuatan China. Tidak ada satupun negara di dunia ini yang tidak ada keturunan China di atasnya. Bahkan di negara Amerika sendiri, dominasi warga China sangat terlihat. China secara perlahan namun pasti akan mengkudeta Amerika Serikat yang notabene sebagai negara super power. Kecerdasan, keuletan, dan kuantitas warga Tionghua tentu tak diragukan lagi.
Lalu bagaimana dengan Indonesia? Indonesia adalah satu dari beberapa negara yang berhasil bertahan pada krisis monteter jilid dua pada tahun 2007/2008. Bukan hanya mampu bertahan, Indonesia bahkan mampu konsisten pada tren pertumbuhan ekonomi. “Sebuah laporan terbaru dari Bank Dunia memprediksikan bahwa pada tahun 2025, China bersama lima negara emerging economies: Brazil, India, Indonesia, Korea Selatan, dan Rusia; akan menjadi negara dengan separuh dari seluruh pertumbuhan ekonomi negara-negara di dunia, yang saat ini telah mencapai sepertiga dunia (NYtimes, 2011). Prediksi dari ilmuwan Bank Dunia ini tentunya mencipta kekhawatiran baru bagi Amerika. Bahkan, negara Paman Sam tidak termasuk dalam list China+lima negara ini.
Kekhawatiran Amerika tentu beralasan. Dua negara ini jika dibiarakan tak dapat diragukan akan menjadi raksasa Asia dan bahkan dunia. China sebagai negara dengan jumlah penduduk terbesar dunia, dan Indonesia menduduki posisi ke-empat, tentu menjadi modal utama dalam menggerakkan perdagangan dan pasar, baik dalam maupun luar negeri. Terutama Indonesia, dengan modal SDM dan SDAnya, jika mau, negara ini bisa memutar perekonomian tanpa harus bergantung pada negara lain. Dengan memproduksi barang/mengolah alam sendiri, kemudian dijual di negaranya sendiri tentu tak akan sulit dengan jumlah penduduk Indonesia yang mendekatai angka 300 juta jiwa ini. Namun, ketidak siapan SDM menyebabkan kita masih bergantung dari negara lain.
Sialnya lagi, hubungan ekspor/impor terbesar RI bukan dengan Amerika Serikat. Melaikan dengan negara China. Berturut-turut hubungan perdangan Indonesia adalah: China, India, baru menyusul Amerika (Kemendag RI, 2013). Tentunya USA tidak suka melihat kenyataan ini. Negara yang dipimpin Obama tentunya khawatir, cengkramannya di Asia akan segera berakhir.
Sebenarnya Amerika sejak dari dulu selalu mencegah hubungan China dan Indonesia berjalan dengan apik. Mulai dari kejatuhan rezim Soekarno, pendanaan penumpasan gerakan PKI, sampai pada kerusuhan tahun 1998 (Weiner, 2013). Faktanya, tidak sedikit media yang menyorot kehadiran agen-agen rahasia Amerika di balik kerusuhan yang membuat hubungan China dan Indonesia pasang surut. Akan tetapi, rakyat Indonesia dan China mulai sadar. Kedekatan batin sebagai sesama Asia membuat hubungan mereka kembali erat. Budaya Tionghoa mulai mendapat tempat di Indonesia, Agama Konghuchu dijadikan agama resmi di Tanah Air, Imlek menjadi hari libur nasional, keturunan Tionghoa mulai diperbolehkan mendapat akses politik, pedagang Tionghoa mendapat hak yang sama.
Amerika cemburu tentunya. Dapat dipastikan Paman Sam akan salalu melakukan banyak cara agar buah hatinya kembali di pelukan. Upaya kekerasan tentu tidak akan mempan di era keterbukaan seperti saat ini. Ada opsi lain: pendekatan budaya. Maka dibuatlah film-film dokumenter termasuk “Jagal” yang disinyalir mengusung misi tersembunyi: memperkeruh ketentramaan rakyat Tionghoa dan Indonesia. Potongan posting blogger dan rakyat China yang marah atas film yang diragukan objektifitasnya seperti di awal tulisan ini, membuktikan barat tidak akan pernah membiarkan rakyat Indonesia berhubungan harmonis dengan rakyat Tionghoa. Lalu, maukah kita diadu domba lagi?
Dion Ginanto, Penikmat Film