Istilah pendidikan karakter sebenarnya bukan hal baru. Bahkan sejak kurikulum pertama diterapkan pada pendidikan negeri ini, karakter adalah muatan terpenting yang diajarkan kepada siswa. Guru-guru zaman dulu bahkan lebih banyak yang menaruh perhatian pada akhlak dan tabiat siswa, ketimbang mengedepankan pengetahuan semata.
Alhasil, karakter sebagai sebuah pondasi pendidikan sebenarnya sudah dipahami sejak awal. Menjadi siswa berkarakter merupakan garda terdepan yang menunjukkan dirinya berhasil mengenyam pendidikan di sekolah.
Lalu mengapa pendidikan karakter kini digelorakan kembali?
Saya yakin tidak ada satu sekolahpun yang tidak memasukkan pendidikan karakter dalam pembelajarannya, baik melalui penjelasan di kelas maupun memberikan contoh secara langsung.
Tapi sayangnya, beberapa fakta menunjukkan hal sebaliknya. Pendidikan karakter di sekolah selama ini belum maksimal. Seperti kita melihat tindakan kurang pantas bahkan amoral yang ditunjukkan pelajar kita. Bahkan ada cap generasi muda saat ini telah meninggalkan budaya adat ketimuran.
Maka perlu kita yakini dulu bahwa membentuk siswa berkarakter bukanlah upaya mudah. Pola pikir ini penting agar kita para guru tidak jumawa dengan mengatakan, “Setiap hari saya juga sudah mencotohkan karakter positif ke anak-anak!”. Sebab saat ini ada banyak tantangan yang kita hadapi, diantaranya
1. Faktor Luar Sekolah
Faktor luar sekolah sangat berpengaruh pada kepribadian siswa. Seperti acara-acara televisi dan media sosial terbukti mempengaruhi tindak tanduk dan perilaku siswa baik di dalam maupun lar sekolah.
Dari sekian itu, yang paling umum dan digandrungi pelajar hampir di semua jenjang adalah media sosial. Situs jejaring sosial telah sama-sama kita ketahui berefek ganda, ada positif dan ada negatif. Tentu yang kita khawatirkan adalah negatifnya, dimana saat ini filter untuk menyaring konten-konten postif sangatlah lemah. Sedangkan siswa-siswi kita bebas mengkases apa saja dengan cepat dan instan.
Inilah yang menurut saya faktor paling serius, yang mengharuskan sekolah untuk kembali menata pembinaan karakter siswa-siswinya.
2. Pembelajaran selama ini terfokus pada kognitif
Sebenarnya ini bukan salah guru semata, bahkan kurikulum dan ujian nasional yang berupa tes tulis seolah mengarahkan guru untuk lebih memforsir aspek pengetahuan. Dan, akibatnya sisi afektif terpinggirkan. Tak heran, kita melihat output-output sekolah maju yang pintar dan cerdas, namun lemah di akhlak dan perilaku.
Kedua hal di atas merupakan alasan kita pada guru untuk menerapkan (lebih tepatnya menata kembali) Program Pendidikan Karakter di sekolah masing-masing.
Cara Mudah Pelaksanaan Program PPK Di Sekolah
Meskipun kita meyakini bahwa mendidik siswa agar berkarakter bukanlah hal mudah, namun dalam pelaksanaan Program PPK itu sendiri kita bisa menggunakan cara-cara yang simpel namun terbukti efektif. Berikut ini langkah mudah menerapkan pendidikan karakter di sekolah:
1. Membuat perencanaan program PPK yang matang
Perlu duduk bersama antara kepala sekolah, guru, dan komite dalam menyusun perencanaan yang matang terkait program ini. Pada tahap awal ini, perlu komitmen bersama untuk menjadikan pendidikan karakter sebagai tatanan nilai yang harus diwujudkan dalam bentuk contoh sehari-hari.
Perlu dibicarakan ulang tentang kebiasaan-kebiasaan apa yang selama ini sudah dijalankan yang berhubungan dengan pembinaan karakter. Kegiatan yang sudah baik seperti penerapan 3S (Salam, Senyum, Sapa) apabila sudah berjalan wajib dipertahankan. Demikian juga pembiasaan lain seperti memungut sampah langsung begitu dijumpai, atau menjenguk teman yang sedang sakit.
2. Membuat alat ukur yang benar
Inilah sebenarnya kelemahan yang jamak terjadi. Sekolah tidak punya buku khusus peningkatan karakter siswa, sehingga siswa lebih baik atau sebaliknya hanya sebatas pengamatan sekilas tanpa ada data yang detail.
Apa alat ukur yang tepat?
Kita tahu bahwa karakter tidak seperti matematika yang untuk mengukurnya sangat mudah. Berikan soal, lalu jika nilainya di atas standar yang ditetapkan berarti materi matematika itu terkuasai. Beda halnya dengan karakter dan kepribadian, jika diberikan soal tertulis, mungkin dia bisa menjawab dengan benar, tapi belum tentu ia melakukannya.
Nah, alat yang tepat sesuai metode yang dipakai diantaranya adalah lembar pengamatan/observasi. Pada lembar observasi ini, tentu harus ada indikator yang dibuat sedetail mungkin, sehingga bisa mengukur sejauh mana perkembangan siswa terkait karakter yang sedang ditanamkan.
3. Awali dengan kebiasaan kecil yang sering dianggap remeh
Ketika siswa tahu di sekolah mulai menerapkan PPK, mereka pasti bertanya, “Apa perubahannya?”, “Apa bedanya dengan sebelumnya?”
Nah, disinilah pintu masuk untuk mengenalkan program ini. Hal-hal sederhana seperti membungkukkan badan saat lewat di depan guru, atau mencium tangan guru dengan mulut (bukan dengan pipi atau dahi) merupakan kebiasaan yang baik didahulukan sebelum memasuki kebiasaan lain.
Dengan begini, siswa akan berpikir tentang keseriusan sekolah dalam mengupayakan pembentukan karakter siswanya, sehingga ia pun tergerak untuk ikut taat mengikuti ketentuan program PPK ini.
4. Berikan teladan secara konsisten dan terus menerus
Bagi sekolah yang ingin menerapkan program PPK, sejatinya harus sudah selesai dengan kedisiplinan guru. Jika masih lemah dalam hal ini, seperti seringnya jam kosong atau guru sering datang telat maka keberhasilan PPK sulit tercapai.
Siswa akan lebih tebentuk karakter positifnya lewat meniru apa yang ia lihat, bukan yang sekedar dijelaskan dengan ceramah. Ada banyak cara yang bisa dipakai untuk meningkatkan kedisiplinan pendidik, seperti tidak malu mengingatkan antar rekan kerja. Biasanya ini luput dan lebih memilih untuk dimaklumi dan berakibat sulitnya kedisiplinan ini menjadi budaya.
Disiplin tentu hanya satu karakter yang ditanamkan dalam PPK. Masih banyak karakter lain yang harus dicontohkan guru secara istiqomah dan berkesinambungan.
Lalu, apakah dalam pelaksanaan PPK ini perlu memberikan hukuman pada siswa yang masih saja berperilaku negatif?
Tentu saja, hukuman (punishment) merupakan bagian tak terpisahkan dari proses pendidikan. Namun sejalan dengan pendidikan karakter, maka hukumannya pun juga harus mendidik. Contoh kecilnya, apabila ada siswa yang terlambat masuk kelas 10 menit, maka ia harus pulang 10 menit (atau kelipatannya) lebih lama dari temannya. Lagi-lagi ini membutuhkan komitmen dari guru untuk menghadapi hal seperti ini.
Demikian artikel singkat tentang cara mudah menerapkan pendidikan karakter di sekolah. Memang mudah dan tidaknya sebenarnya kembali ke guru masing-masing. Jika karater yang hendak ditanamkan ke siswa sudah lebih dulu dimiliki guru, rasa-rasanya tidak sulit untuk mencetak siswa-siswi yang berkarakter positif. Sebab guru seperti ini tidak hanya terjebak pada pengajaran karakter, melainkan betul-betul melakukan pendidikan karakter secara utuh.
EmoticonEmoticon