Oleh: Dion Eprijum Ginanto *)
Tidak banyak orang yang tahu bahwa tanggal 25 November adalah hari guru di Indonesia. Memang peringatan hari guru ini tidak begitu istimewa di khalayak umum, karena tidak ditandai dengan hari libur nasional atau tanggal merah. Bahkan untuk kalangan guru sekalipun, pasti masih banyak dari mereka yang tidak mengetahui kapan hari guru di Indonesia diperingati. Saya berani memberi garansi jika ada questionnaire dan disebarkan kepada guru-guru di Indondesia, niscaya mayoritas dari mereka tidak tahu bahwa tanggal 25 November diperingati sebagai hari guru Indonesia.
Hari guru bukan hanya diperingati di Indonesia saja, bahkan dunia dan setiap negara mempunyai hari yang berbeda untuk memberikan penghormatan kepada guru dengan menetapkan hari tertentu untuk merayakannya. Untuk dunia, hari guru diperingati setiap tanggal 5 Oktober.
Bukan suatu hal yang berlebihan jika untuk turut memperingati hari guru di Indonesia, saya membuat tulisan dalam rubrik koran ini. Hal ini dikarenakan topic “guru” akan selalu menjadi sesuatu yang hangat untuk dibicarakan dari waktu ke waktu. Mengapa demikian, karena menurut cerita yang sering didengar di setiap kali upacara bendera saat kita masih duduk di bangku sekolah dulu, bapak dan Ibu guru selalu menceritakan betapa mulianya dan betapa pentingnya peran guru dalam membangun bangsa dan Negara. Bahkan kita sampai hafal dengan doktrin cerita di Jepang, bahwa kaisar Jepang sewaktu mendapat serangan bom Atom dari Amerika di kota Nagasaki dan Hirosima, yang ditanyakan adalah “masih ada berapa guru yang tersisa di Negara saat ini.”
Namun, kelihatannya cerita tinggalah cerita; doktrin tinggalah doktrin yang tersisa hanyalah dongeng masa lalu yang memberikan sanjungan kepada guru. Lalu bagaimana nasib guru saat ini?
1. Pemerintah melalui UU No. 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, mewajibkan untuk setiap guru di Indonesia harus minimal mempunyai kualifikasi Sarjana Strata 1 (S1). Namun adakah upaya nyata dari pemerintah untuk membantu guru dalam memperoleh gelar S1 tersebut? Sampai saat ini pun masih banyak guru-guru di Indonesia yang belum berkualifikasi S1.
2. Pemerintah memberikan gaji yang tinggi untuk guru PNS, namun tidak diiringi dengan manajemen dan pengawasan kepada mereka. Saat ini saya dapat merasakan sendiri ada beberapa oknum guru yang satu bulan hanya masuk ke sekolah 3 kali saja. Namun pemerintah belum berani memberikan tindakan tegas kepada oknum guru yang tidak disiplin tersebut. Tidak adanya pengawasan kinerja bagi guru yang mendapat tunjangan serifikasi guru, sebenarnya merupakan bom waktu yang suatu saat akan meledak dan membahayakan bagi pemerintah dan dunia pendidikan.
3. Pemerintah belum mampu memberikan jaminan keamanaan bagi guru, sebagai contoh pernah ada di Jambi, seorang guru memergoki siswanya sedang menonton video porna di HP nya, karena guru merasa ingin mendidik dan memberikan pelajaran agar siswa tidak mengulangi perbuatannya, maka guru terpaksa menampar siswa tersebut. Tapi tamparan atau jeweran yang beberapa puluh tahun lalu lazim diterima oleh siswa merupakan sesuatu hal yang biasa, orang tua tidak pernah protes kepada guru dan malah akan mendukungnya; namun kondisinya sekarang sungguh berbeda. Semenjak lahirnya Komnas Perlindungan Anak yang tidak dibarengi dengan Komnas Perlindungan guru, maka guru akan selalu menjadi korban. Seperti cerita tadi, hanya karena guru menampar siswa dengan pelan karena kedapatan melihat video porno, namun dengan semangatnya orang tua wali melaporkannya ke polisi, menuntut agar guru diberikan hukuman yang berat, sementara anak yang menonton video porno sama sekali tidak mendapatkan hukuman.
4. Dalam UU No. 14 tahun 2005 pemerintah mengisaratkan bahwa guru swasta/honorer setidaknya harus mempunyai gaji setara dengan gaji guru PNS; namun pernahkan pemerintah membuat peraturan pemerintah yang tegas misalnya akan membekukan yayasan atau sekolah yang memberikan gaji guru di bawah Upah Minimum Regional? Atau setidaknya pernahkan pemerintah membuka mata dan telinga, untuk sesekali mengecek kondisi guru honorer yayasan yang masih mendapatkan gaji sepereempat dari gaji guru PNS? Padahal tugas dan kewajiban daripada guru PNS dan guru honorer adalah sama, bahkan ada banyak guru PNS yang justru memanfaatkan keberadaan guru honerer di sekolah dengan memberikan limpahan tugas dan jam mengajar, sementara mereka enek-enakan tidak masuk ke sekolah.
Nasib Guru Honorer/Swasta
Berbicara tentang nasib guru honorer, pasti yang kita pikirkan adalah nasib mereka yang kurang beruntung. Bayangkan saja, seorang guru bertitel Sarjana Pendidikan digaji lebih rendah dari gaji seorang buruh pabrik yang hanya lulusan SD. Saya pernah merasakan mengajar dalam sebulan penuh, dengan masa mengajar hingga pukul 15.00 namun hanya digaji Rp. 280.000. Saya saat itu mengajar di sebuah yayasan pendidikan yang lumayan mempunyai nama di Jambi. Padahal jika dipikir, gaji seorang Cleaning Service saja saat itu bisa di atas Rp. 500.000; Sungguh memprihatinkan.
Namun, Pemerintah belum bisa berbuat banyak. Pemerintah melalui perpanjangan tangannya di daerah melalui Dinas Pendidikan Propinsi dan Kabupaten Kota tidak berdaya melihat nasib guru-guru yang hanya diperas keringatnya oleh oknum ketua Yayasan atau oknum Kepala Sekolah. Padahal jika pemerintah mau dan berani, pemerintah dapat dengan mudah mencabut ijin dari yayasan pendidikan yang tidak menghargai guru dengan memberikan gaji minimal di atas Upah Minimum Regional (UMR). Ada juga sih memang beberapa yayasan yang sudah menerapakan manajemen yang transparan dan maju, sehingga memberikan gaji kepada guru-gurunya bahkan melebihi gaji guru PNS. Namun untuk yayasan yang berada di daerah pedesaan mereka akan berdalih bahwa masyarakat tidak dapat ditarik iuran dengan mahal, karena jika diminta SPP tinggi maka yayasan tidak akan mendapat siswa. Serba susah memang, namun kesusahan ini ditambah dengan adanya kebijakan pemerintah yang sepihak dengan menerapkan pendidikan gratis dari SD s.d SMA. Dapat kita bayangkan, apa yang akan terjadi pada sekolah swasta? Secara otomatis orangtua dan siswa akan lebih memilih untuk bersekolah di sekolah negeri, karena GRATIS. Sedangkan sekolah swasta, dipersilahakan untuk gigit jari. Jika sekolah swasta gigit jari, maka guru honor yang menagajar di sekolah swastapun dipersilahkan gigit sepuluh jari.
Peran PGRI
Lahirnya Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) pada tanggal 25 November di Surakarta melalui kongres guru se-Indonesia saat itu, menjadi latar belakang dijadikannya tanggal 25 November sebagai hari Guru Indonesia. PGRI di masa kolonialisme bernama PGHB (Persatuan Guru Hindia Belanda) yang kemudian berubah menjadi PGI (Persatuan Guru Indonesia, dicantumkannya nama Indonesia adalah untuk memberi semangat juang bagi para guru dalam menyongsong kemerdekaan) namun PGI harus ditutup pada zaman Jepang; karena pada zaman penjajahan Jepang seluruh organisasi kemasyarakatan harus dibubarkan. Akan tetapi, setelah proklamasi pada tanggal 17 Agustus 1945, semangat patriotisme guru semakin meninggi dan tidak kalah dengan semangat para pejuang kemerdekaan saat itu, guru-guru Indonesia kembali menyatukan visi dan misi dengan menyelenggarakan kongres di Surakarta pada tanggal 24-25 November 1945. Sejak Kongres Guru Indonesia itulah, semua guru Indonesia menyatakan dirinya bersatu dedalam wadah Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI). PGRI saat itu mengusung tiga tujuan utama: 1. Mempertahankan dan menyempurnakan Republik Indonesia, 2. Mempertinggi tingkat pendidikan dan pengajaran sesuai dengan dasar-dasar kerakyatan, 3. Membela hak-hak dan nasib buruh umumnya, dan guru pada khususnya.
PGRI saat ini adalah sebagai organisasi profesi tertinggi yang dimiliki guru. Seyogyanya ketika pemerintah kurang peduli dengan nasib guru khususnya guru honorer, maka PGRI harus mampu memainkan perannya untuk dapat memberikan tekanan dan desakan kepada pemerintah untuk memberikan aturan tentang gaji dan perlakuan terhadap guru honorer. Sehingga setiap Satuan Pendidikan akan lebih memikirkan kesejahteraan guru sebelum berani mengangkat mereka sebagai guru di suatu sekolah.
PGRI bila perlu mendata dan mengecek di lapangan berapa jumlah guru honorer plus berapa jumlah gaji mereka. Setelah itu PGRI dapat melakukan advokasi kepada guru honorer untuk memperjuangkan haknya di pemerintahan pusat. Atau setidaknya PGRI harus berani memberikan tekanan kepada ketua yayasan atau kepala sekolah dan atau Dinas Pendidikan Kabupaten Kota, agar lebih dapat menaikkan gaji mereka minimal di atas gaji UMR.
Sebenarnya pemerintah pusat tidak perlu untuk setiap tahun membuka seleksi CPNS untuk guru. Karena test CPNS yang selama ini dilakukan setiap tahunnya, dimanfaatkan oleh beberapa oknum tertentu utnuk memperkaya diri sendiri dan kelompok. Mereka dengan sagat mudahnya menjadi calo pelamar CPNS yang memberikan syarat kepada pelamar, jika ingin lulus test CPNS maka haru membayar minimal Rp. 45.000.000,-. Pemerintah daerah tidak perlu kebakaran jenggot jika membaca tulisan saya ini, karena ini sudah tidak menjadi rahasia dan hal tabu untuk dibicarakan. Pemerintah sebenarnya tinggal memeratakan gaji guru PNS dan honor/swasta, semisal pemerintah memberikan tunjangan kepada guru honor dalam satu bulan Rp. 1,5 juta saja, mungkin tidak akan ada lagi barisan antrean guru yang melamar menjadi PNS. Serta tidak akan ada lagi guru yang harus melakukan praktet suap menyuap seperti yang dilakukan GAYUS TAMBUNAN.
Dalam peringatan hari guru kali ini, marilah sama-sama kita bersatu padu: PGRI, Pemerintah dan Swasta untuk dapat lebih memberikan aksi nyata dalam meningkatkan kesejahteraan guru, khususnya guru honorer/swasta. Karena ketiga elemen tadi yang saat ini masih bisa memberi harapan kepada mereka guru-guru kita yang masih berstatus Non-PNS. Selama kita bersatu, maka tidak akan ada lagi kesenjangan dan perbedaan mencolok antara guru PNS dan guru Honorer. Kepada guru honorer yang masih bergaji di bawah UMR, kami akan selalu memberikan apresasi dan terimakasih yang tinggi kepada Anda. Hidp Guru Indonesia!!!, SELAMAT HARI GURU INDONESIA.... SEMOGA GURU AKAN SELALU BERDIRI DI GARDA DEPAN DALAM MENCETAK GENERASI BANGSA YANG HANDAL, PROFESIONAL, BERMARTABAT DAN BERIMAN.
*) Penulis adalah Guru di SMA 9 Batanghari serta mengajar pada Akademi Bahasa Asing (ABA) Nurdin Hamzah Jambi.
EmoticonEmoticon