VS
KOMISI PERLINDUNGAN GURU
Oleh: Dion Eprijum Ginanto
Jambi (ANTARA News) - AG, guru SMPN 20 Kota Jambi, terdakwa kasus menampar siswanya, MT siswa yang tertangkap menonton film porno di telepon genggamnya saat jam pelajaran, oleh orangtua siswa, AG dilaporkan ke kantor polisi dan dituntut hukuman tiga bulan penjara dengan masa percobaan enam bulan. (www.antranews.com)
Berita yang sangat memprihatinkan di atas, merupakan sebagian kecil dari kasus guru dan siswa saat ini. Guru akhir-akhir ini kurang mempunyai martabat di hadapan siswa dan orang tua. Sebagai contoh untuk kasus AG, guru yang dilaporkan orangtua murid yang ditampar guru gara-gara menonton video mesum saat jam pelajaran. Pertanyaannya, apakah arif orangtua melaporkan guru yang dengan ikhlas ingin memperbaiki moral anaknya malah dilaporkan ke polisi? Apakah pantas orang tua mendapati anaknya menonton video mesum malah memberikan dukungan kepada anaknya? Jawabannya tentu sikap orang tua yang melaporkan guru ke kantor polisi merupakan sikap yang kurang arif dalam konteks pendidikan moral anak.
Mari kita melakukan kilas balik sepuluh atau lima belas tahun silam, sistem pendidikan yang diberlakukan di Indonesia menggunakan sistem konvensional. Apabila ada anak yang bandel, kemudian guru mencubit, atau memberi hukuman fisik seperti berdiri di depan kelas, push up dll; orangtua di rumah malah memberikan dukungan kepada guru. Orang tua tidak akan melaporkannya ke kantor polisi, tidak ada komisi perlindungan yang melaporkan guru yang mencubit siswa yang nakal ke kantor polisi.
Hal ini bukan berarti penulis membenarkan tindakan hukuman jewer/cubit kepada murid. Namun lebih lepada rendahnya kepercayaan orang tua kepada sekolah. Selain itu degradasi moral anak bangsa juga disebabkan bebasnya tayangan infotainment yang menjadi trend setter cara bergaul mereka, maka kini murid tak lagi menghargai gurunya.
Kondisi nyata yang terjadi sekarang adalah, ketika guru berhasil mendidik anak muridnya menjadi sukses, guru tidak pernah disebut atau diingat sebagai orang yang berjasa. Namun ketika guru melakukan kesalahan dalam bentuk kekerasan dll, dengan sigap orang tua murid melaporkannya ke kantor polisi.
Berikut adalah kisah-kisah nyata tragis yang menimpa pada guru. Kisah ini di kutip dari salah satu majalah Islam:
Kisah 1
”Sebut saja namanya Kahdijah (bukan nama asli), maksud hati ingin memberi efek jera kepada murid yang berkali-kali tidak mengerjakan PR dengan cara menjewer. Tapi, jeweran itu malah membuahkan tuntutan yang tidak mengenakkan. Guru SD tersebut dituntut wali murid untuk membayar ganti rugi sebagai balasannya. Khadijah tentu saja panik. Apalagi ada ancaman dari orangtua murid untuk membeberkan masalah ke media, bahkan akan berlanjut ke kepolisisan. Ibu guru tersebut sempat kelimpungan untuk mendapatkan uang senilai Rp. 5 juta. Namun karena mendapat pembelaan dari rekan seprofesinya, tuntutan itu masih mengambang.”
Kisah 2
”Ibu Siti (bukan nama asli) Guru SD N Depok kelas IV. Ia pernah didatangi wali murid dan dua orang preman bertubuh tinggi besar. Gara-gara tidak menaikkan kelas anak didiknya. Ibu Siti bahkan sempat diancam wali murid akan dilaporkan ke diknas dan wartawan setempat, jika guru itu tak menaikkan anaknya. Kejadian itu bukan hanya sekali, ia sering mendapatkan teror dan ancaman dari preman yang sengaja dibawa oleh orang tua demi kenaikan kelas anaknya. Setelah melaporkan ke kepala sekolah, rupanya wali murid belum juga berhenti untuk menteror sang guru bahkan sang wali murid berani mendatangi sekolah untuk memberikan ancaman. Akhirnya karena tidak tahan dengan ancaman bertubi-tubi dan takut akan adanya efek negatif menimpa guru dan sekolahnya maka dengan terpaksa sang kepala sekolah mengeluarkan keputusan untuk menaikkan sang murid dengan cara naik terbang. Artinya sang murid bisa naik kelas asalkan pindah sekolah. Inilah bentuk ancaman dan teror kepada guru, ini membuktikan guru tak lagi dihargai oleh masyarakat.”
Kedua kisah ini adalah sebagian kisah dari ribuan kasus teror dan ancaman kepada guru di Indonesia. Ancaman ini bukan hanya dari orang tua murid saja, namun mereka melibatkan LSM, preman dan bahkan wartawan dan yang lebih parah lagi sampai ke KOMNAS PERLINDUNGAN ANAK. Lahirnya Komnas Perlindungan Anak di Indonesia memang dirasa bermanfaat; namun di sisi lain Komnas dan UU perlindungan anak dijadikan alasan untuk dapat benar-benar memproteksi anak yang sebenarnya tidak perlu mendapat proteksi berlebihan. Padahal produk pendidikan 10-20 tahun yang lalu, dengan metode pendidikan klasik/tradisional, murid mempunyai tata krama dan sopan santun serta disiplin yang tinggi. Guru mempunyai wibawa yang tinggi sebagai pendidik, namun kondisi saat ini telah berubah 180 %.
Lalu bagaimana jika kondisinya terbalik seperti saat ini, ketika guru dilaporkan ke kantor polisi, siapakah yang akan memberikan perlindungan kepada guru? Atau ketika guru dianiaya atau dihina oleh murid apakah ada komisi yang akan melaporkan siswa ke kantor polisi. Saat ini guru berhadapan dengan siswa, yang nyata-nyata sudah dilindungi oleh Undang-Undang perlindungan Anak, sudah seharusnya guru mempunyai payung hukum yang sama. Undang-Undang Perlindungan Guru yang kemudian melahirkan Komisi Perlindungan Guru adalah wajib untuk segera direalisasikan.
Selama ini situasi dunia pendidikan yang menyangkut payung hukum perlindungan guru masih belum kondusif. Karena banyak guru yang akhirnya berurusan dengan penegak hukum karena ketidaktahuan mereka. ”Mereka banyak yang belum terlindungi oleh hukum dan kadang karena kepolosan atau minimnya pengetahuan, justru menghadapkan mereka pada hukum itu sendiri,” (Kutipan dari Ahmad Zaenal Afani dari www.kapanlagi.com). Banyak guru yang terseret ke meja hijau, karena kasus-kasus yang terjadi di sekolah padahal boleh jadi perbuatan guru adalah murni untuk memberikan penyadaran dan efek jera kepada siswa.
Ada beberepa alasan mengapa guru harus segera mempunyai Undang-Undang Perlindungan Guru dan kemudian melahirkan Komnas Perlindungan Guru:
1. Untuk memberikan payung hukum kepada Guru
2. Untuk memberikan advokasi kepada guru, yang notabene tidak mengetahui permasalahan hukum.
3. Memberikan kenyamanan dalam melaksanakan tugasnya.
4. Menjadi penyeimbang terhadap UU perlindungan anak dan Komnas perlindungan anak, dan yang tidak kalah penting adalah
5. Memberikan perlindungan dan dukungan terhadap guru.
Undang-undang perlindungan hukum atau Komnas perlindungan kepada guru bukan berarti memberikan perlindungan kepada guru yang melakukan tindak kekerasan kepada murid. Ini juga bukan berarti guru dapat leluasa melakukan tugas tanpa ada pengawasan namun lebih kepada upaya perlindungan dan dukungan di kemudian hari apabila dijumpai kasus-kasus yang menimpa guru.
Cita-cita akhir dengan adanya UU perlindungan guru adalah tidak akan ada lagi kasus-kasus nyiris yang menimpa guru. Sebaliknya juga tidak akan ada lagi kisah-kisah memilukan yang terjadi kepada siswa, karena masing-masing pihak (guru dan siswa) mempunyai payung hukum yang sama.
Ke depan, diharapkan adanya hubungan yang erat antara guru dan siswa. Guru diharapkan mampu berperan menjadi orang tua yang dapat mengayomi anak didiknya, memberikan kasih sayang dan contoh positif kepada siswa. Begitu juga siswa, mereka harus memerankan sebagai seorang anak yang menghormati, mencintai dan menyayangi guru mereka di sekolah. Jika sudah ada pemahaman seperti di atas, sebenarnya tidak perlu ada Komnas perlindugan anak dan guru, cukuplah hukum kekeluargaan yang dapat menyelesaikan setiap permasalahan di sekolah.
Sumber:
________ (2010) Guru Tampar Siswa Dituntut Tiga Bulan Percobaan [Online] terdapat dalam www.antaranews.com (diakses dari internet pada 06 Maret 2010)
________ (2009) UU Perlindungan Guru Harus disahkan Tahun Depan [Online] terdapat dalam www.kapanlagi.com (diakses dari internet tanggal 06 Maret 2010)
*) Penulis adalah Guru Bahasa Inggris di SMA N 9 BATANG HARI dan MAS Darussalam Jangga Baru, Batang Hari
EmoticonEmoticon