Pengajaran Bahasa Inggris pada Anak Autisme

February 16, 2010
Pendidikan adalah salah satu hal yang sangat fundamental dalam membangun negeri menjadi lebih baik. Oleh karena itu dibutuhkan pendidikan yang merata bagi seluruh warga negara Indonesia. Dalam hal ini tidak menutup kemungkinan bagi anak istimewa (anak autisme) dalam memperoleh pendidikan. Karena hal ini sesuai dengan UUD 1945 hasil amandemen pasal 31 ayat 1 ” Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan.”
Sekolah umum wajib menerima anak yang berkebutuhan khusus, baik anak yang mempunyai kelainan fisik, mental, sosial, ataupun anak berbakat bawaan atau mendadak, termasuk anak autis, dengan catatan, anak tersebut sudah siap didik dan siap latih. Bila ada sekolah yang menolak anak yang berkebutuhan khusus, maka dapat dikenakan sanksi, seperti yang tercantum dalam Pasal 77 UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Penolakan tersebut juga dapat dilaporkan kepada Badan Perlindungan Anak, Dinas Pen¬didikan atau Dinas Sosial.
Sejalan dengan hal tersebut, peran pendidikan harus disejajarkan pada tuntutan internasional dalam era globalisasi seperti saat ini. Bahasa Inggris adalah kunci dalam pemengangan dalam era kemajuan tersebut. Tidak dapat dipungkiri jika saat ini bahasa Inggris bukanlah bahasa yang sulit, karena bahasa ini tengah mulai dikenalkan mulai dari tingkat sekolah Taman Kanak-Kanak. Meskipun banyak anggapan bahwa Bahasa Inggris belum dianggap penting untuk diajarkan pada anak Autis, tetapi yang ditekankan bagi anak autis adalah sebarapa jauh mereka dapat mempelajari hal-hal baru.
Selain itu, bahasa Inggris dianggap perlu diajarkan pada anak Autisme karena hal ini dianggap penting bagi bekal sebelum dimasukkan pada sekolah inklusif amupun sekolah umum. Karena pada dasarnya anak autis apabila dapat ikut mengenyam pendidikan di sekolah inklusi maupun sekolah umum asalakan sudah memenuhi sayarat dan didampingi oleh guru pendamping. Fitri (2006) menyebutkan bahwa titik tekan dalam pengajaran bahasa Inggris pada anak Autis bukanlah pada manfaat dalam mempelajari bahasa tersebut; namun lebih kepada sejauh mana anak autisme dapat menerima materi apapun. Matematika dan bahkan bahasa Ingris bukanlah suatu pengecualian bagi anak autisme untuk dapat mengethauinya. Hal ini dikarenakan bahwa setiap anak mampu dan berhak menerima materi apapun, asal ada tanggung jawab pada pendidik itu sendiri. Senada dengan Fitri, Dewi (2005) menuliskan bahwa
”Bahwa anak autisme itu unik, jadi permasalahannya bukan kepada "manfaat atau tidaknya bahasa Inggris untuk anak autisme", tapi kapan anak-anak autis mempelajari bahasa inggris (tentunya sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan masing-masing anak-anak), lalu bagaimana pengaruh pembelajaran bahasa inggris itu sendiri bagi anak-anak autisme. Saya juga pernah mengalami kasus seperti yang diceritakan oleh ibu dewi dan ibu duma, bahwa beberapa anak penyandang autisme yang verbal sangat senang dengan pembelajaran bahasa Inggris, serta memiliki spell yang oke banget. Dan, terkadang beberapa orang tua anak penyandang autisme juga memilih untuk menyekolahkan anak mereka di sekolah Bilingual (dengan tentunya alasan masing-masing orang tua, dan kemampuan anak yang sudah dievaluasi sekolah yang kemudian diterima oleh sekolah.”

YISSADI (2004) menuliskan dalam artikelnya bahwa anak penyandang autis mempunyai kemampuan bahasa yang sangat baik. Sebagian besar dari mereka dapat berkomunikasi dengan menggunakan simbol, gambar, komputer dan peralatan elektronik. Sehingga hal ini dapat dimanaatkan dalam memberikan pengajaran dengan menggunakan beberapa peralatan tersebut; termasuk dalam hal ini untuk mengajar bahasa Inggris.
Jumlah penyadang autis di Amerika berdasarkan statistik bulan mei 2002, menunjukkan bahwa 1 di antara 150 anak berusia di bawah 10 tahun atau sekitar 300.000 anak-anak mempunyai gejala autis. Statistik ini belum termasuk dewasa, sehingga jika ditotal secara keseluruhan, penyandang autisme di Amerika berjumlah satu juta orang (Afriayanti: 2006). Sedangkan di Indonesia menurut data yang di peroleh dalam penelitian Dewi (2006) pada tahun 2004 terdapat 70 anak penyandang autis/10.000 kelahiran atau 1:150. Berarti dalam 150 kelahiran akan terdapat 1 anak penyandang autisme.
Pengertian Autisme

Kata Autisme berasal dari bahasa Yunani: "Autos" (diri sendiri) dan "Isme" (aliran) dapat diartikan sebagai suatu paham yang tertarik hanya pada diri dan dunianya sendiri. Autisme adalah gangguan perkembangan mental yagn menyangkut gangguan komunikasi, interaksi sosial dan aktivitas imajinasi (Dewi: 2006).
Charles A. Hart dalam Afrianti (2006) mendefinisikan autisme sebagai suatu kondisi yang menggambarkan sejumlah permasalahan neurologist yang mempengaruhi pikiran, persepsi dan perhatian. Pengaruh atas ketidakmampuan yang ada tersebut selanjutnya menghambat dan mengganggu signal dari mata untuk berinteraksi dengan orang lain atau menjalankan aktivitas sosial bahkan kemampuan berkomunikasi, termasuk membatasi berbagai kemampuan lainnya seperti imajinasi dan argumentasi.
Sedangkan menurut Byrna Siegel dalam Afrianti (2006) autisme diketahui sebagai gangguan perkembangan yang berefek pada banyak aspek tentang bagaimana cara pandang seorang anak terhadap dunia dan kemampuannya dalam mempelajari setiap pengalaman yang dihadapinya.
Senada dengan pengertian di atas, situs wikipedia online mendefinisikan Autiseme sebagai: ketidaknormalan perkembangan neuro yang menyebabkan interaksi sosial yang tidak normal, kemampuan komunikasi, pola kesukaan, dan pola sikap. Autisme bisa terdeteksi pada anak berumur paling sedikit 1 tahun. Autisme empat kali lebih banyak menyerang anak laki-laki dari pada anak perempuan (Autisme (n.d)).

Karakteristik/ Tanda-tanda Autisme
Artikel dalam situs wikipedia (n.d) tersebut memaparkan tentang tanda-tanda anak penyandang autisme antara lain:
- tidak bisa menguasai atau sangat lamban dalam penguasaan bahasa sehari-hari
- hanya bisa mengulang-ulang beberapa kata
- mata yang tidak jernih atau tidak bersinar
- tidak suka, tidak bisa atau atau tidak mau melihat mata orang lain
- hanya suka akan mainannya sendiri (kebanyakan hanya satu mainan itu saja yang dia mainkan)
- serasa dia punya dunianya sendiri
- tidak suka berbicara dengan orang lain
- tidak suka atau tidak bisa menggoda orang lain.
Namun demikian bukan berarti dengan adanya ciri-ciri di atas, anak autisme tidak dapat diajari sesuatu hal seperti layaknya anak-anak normal seusianya. Yang terpenting adalah bagaimana menemukan teknik untuk dapat mengajari mereka sesuai dengan apa yang seharusnya diajarkan kepada mereka.
Putra Kembara (2004) memaparkan bahwasannya Sejauh ini tidak ditemukan tes klinis yang dapat mendiagnosa langsung autisme. Diagnosa yang paling tepat adalah dengan cara seksama mengamati perlilaku anak dalam berkomunikasi, bertingkah laku dan tingkat perkembangannya. Dikarenakan banyaknya perilaku autisme juga disebabkan oleh adanya kelainan kelainan lain (bukan autis) sehingga tes klinis dapat pula dilakukan untuk memastikan kemungkinan adanya penyebab lain tersebut.
Karena karakteristik dari penyandang autisme ini banyak sekali ragamnya sehingga cara diagnosa yang paling ideal adalah dengan memeriksakan anak pada beberapa tim dokter ahli seperti ahli neurologis, ahli psikologi anak, ahli penyakit anak, ahli terapi bahasa, ahli pengajar dan ahli profesional lainnya dibidang autisme. Dokter ahli / praktisi profesional yang hanya mempunyai sedikit pengetahuan / training mengenai autisme akan mengalami kesulitan dalam men-diagnosa autisme. Kadang kadang dokter ahli / praktisi profesional keliru melakukan diagnosa dan tidak melibatkan orang tua sewaktu melakukan diagnosa. Kesulitan dalam pemahaman autisme dapat menjurus pada kesalahan dalam memberikan pelayanan kepada penyandang autisme yang secara umum sangat memerlukan perhatian yang khusus dan rumit (Putra Kembara:2004).

Pengajaran Bahasa Inggris

Seperti yang diungkapkan semula bahwa era globalisasi menuntut kecakapan bahasa Inggris yang tinggi bagi seluruh lapisan masyarakat. Oleh karena itu, dibutuhkan inovasi dari semua pihak untuk dapat menciptakan mekanisme yang inovatif agar bahasa Inggris dapat diterima oleh semua pihak, termasuk dalam hal ini para penyandang Autisme. Pelajaran bahasa Inggris dapat diperoleh melaui dua jalur, yaitu jalur formal (di bangku sekolah dan kuliah), semi-formal (kursus bahasa Inggris), dan non-formal (les privat, Home Schooling, dll).
Kokasih dan Hery (1998) menuliskan bahwa beberapa pakar bahasa mendukung pandangan "semakin dini anak belajar bahasa asing, semakin mudah anak menguasai bahasa itu". Misalnya, McLaughlin dan Genesee menyatakan bahwa anak-anak lebih cepat memperoleh bahasa tanpa banyak kesukaran dibandingkan dengan orang dewasa. Demikian pula Eric H. Lennenberg, ahli neurologi, berpendapat bahwa sebelum masa pubertas, daya pikir (otak) anak lebih lentur. Makanya, ia lebih mudah belajar bahasa. Sedangkan sesudahnya akan makin berkurang dan pencapaiannya pun tidak maksimal.
Bukan hanya anak pada umumnya yang dapat mempelajari bahasa Inggris dengan baik; para penyandang autisme juga mempunyai kemampuan yang hampir sama untuk dapat menguasai bahasa asing tersebut. Berikut adalah petikan dari kisah nyata yagn dituturkan oleh ibu dari penyandang Autisme:
“Anakku untuk di Malaysia agak susah pake satu bahasa aja. Tapi kalau gara-gara dua bahasa menyebabkan autis aku juga baru denger, kayaknya biar pake satu bahasa juga, anak autis tetep aja jadi autis. Tapi sekarang aku liat anakku udah ngerti arahan dalam bahasa Indonesia maupun Inggris. Misalnya dia kalo berhitung one two three tapi kalau ditanya jawabnya iya. Temen-temen yang lain juga gitu, malah yang anak chinesse jadi tiga bahasa, Mandarin, Melayu juga Inggris.” (Sesuai yang dituliskan pada: Autis dan Dua Bahasa (n.d) tersedia dalam: http://mayoclinik.com/invoke.cfm?id=DSOO348)
Pengajaran bahasa Inggris pada anak autisme dirasa dapat dilaksanakan dengan baik, hal ini dikarenakan lebih mudah mengungkapkan kemauan dan keinginan menggunakan bahasa Inggris. Ternyata menurut guru yang mengajar autis bahwa hal ini dimungkinkan karena bahasa Inggris pengucapannya lebh sederhana. Misalnya untuk angka 10 dalam bahasa Inggris cukup mengucapkan “ten” (satu suku kata) tidak harus mengucapkan se-pu-luh (tiga suku kata). Demikian juga dengan kata-kata yang lain seperti: want (satu suku kata), sedangkan suka (dua suku kata), shoes: se-pa-tu, hand: ta-ngan, book: bu-ku, dll.
Semoga dengan pengajaran bahasa Inggris selain untuk memenuhi tuntutan hak anak autisme dalam Undang-Undang, juga dapat memberikan kepuasan tersendiri bagi si penyandang autisme. Sehingga diharapakan pembelajaran bahasa yang menyenangkan dapat dijadikan sebagai terapi tambahan dalam upaya penyembuhan dari autisme.

Dion E. Ginanto,
Staff Pengajar di SMA 9 Batang HAri Jambi

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »