(Perlukah Kembali pada Metode Konvensional?)
Oleh: Dion Eprijum Ginanto
Akhir-akhir ini ini banyak media masa yang menyorot tentang permasalahan remaja. Hampir setiap hari pemberitaan di media cetak dan elektronik mengabarkan kasus kenakalan remaja yang mayoritas diperankan oleh siswa. Bukan hanya itu, razia Satuan Polisi Pamong Praja (SATPOL PP) dalam setiap aksinya kerap menjaring siswa-siswi yang kedapatan sedang melakukan aktivitas lain di luar sekolah seperti: sekedar kongko-kongko di pinggir jalan, berpacaran di taman, merokok dan minum-minuman keras, bermain games online di warnet, dan yang lebih parah ada juga yang kedapatan berbuat mesum di tempat kost-kostan pada jam sekolah.
Degradasi moral siswa saat ini sudah mencapai titik yang mengkhawatirkan; sebagai contoh, ketika guru yang memberikan teguran, siswa malah akan semakin berani dan bahkan tidak segan-segan untuk membentak guru. Sikap berani melawan guru seperti ini sudah tidak asing lagi terlihat di hampir seluruh sekolah di Indonesia.
Guru seolah tidak lagi mempunyai taring di hadapan siswa, guru seakan telah dianggap sebagai suatu pekerjaan semata. Dalam artian guru tidak lagi dipandang sebagai orang tua di sekolah yang dapat dijadikan sebagai tempat curahan hati (curhat), konsulatasi dan menumpahkan kasih sayang.
Meskipun demikian, kasus-kasus siswa yang melawan guru seperti di atas mungkin tidak berlaku di pondok pesantren. Berdasarkan pengamatan penulis, hal ini disebabkan metode pengajaran yang diberlakukan di pesantren sebagian besar masih menggunakan cara-cara konvensional (tradisonal) dalam mendidik putra-putrinya. Sebagai contoh guru boleh memberikan hukuman fisik (mencambuk/memukul dengan tidak terlalu keras) pada siswa yang sudah baligh namun tidak mau sholat. Guru juga boleh memberikan hukuman fisik seperti push up, atau menjewer siswa yang kedapatan merokok di lingkungan sekolah, bahkan hanya sekedar tidak memakai celana di bawah lutut untuk siswa yang sedang bermain sepak bola, harus rela mendapat hukuman pukul dengan menggunakan kayu rotan kecil.
Metode Konvensional seperti yang diterapkan di pesantren sangat berhasil, terbukti tidak pernah terdengar ada siswa yang menghina guru, melwan guru apalagi berani memukul guru. Faktor lain yang menyebabkan pesantren berhasil mendidik moral peserta didiknya adalah tidak ada campur tangan orang tua dalam pendidikan moral kepada anaknya, orang tua sudah memberikan kepercayaan 100% kepada pihak pesantren dalam memberikan ilmu kepada putra-putrinya.
Konsep seperti di pesantren, jauh berbeda dengan konsep pendidikan yang ada di sekolah umum. Apalagi saat ini ada peraturan yang mengatur tidak boleh mengajar dengan menggunakan hukuman fisik. Punishment and Reward diberlakukan tidak berimbang, dalam artian guru bebas memberikan reward, sedangkan untuk punishment dibatasi (tidak boleh dilakukan dengan hukuman fisik). Ditambah lagi saat ini telah lahir Komisi Perlindungan Anak, yang selalu memberikan kritikan dan bahkan melaporkan guru yang kedapatan memberikan hukuman fisik kepada anak didik mereka. Padahal boleh jadi guru melakukan itu semua untuk memberikan efek jera kepada siswa yang melakukan pelanggaran.
Metode Konvensional
Metode konvensioanal adalah metode atau cara dalam mendidik siswa/siswi di sekolah dengan menggunakan cara arif namun bersifat tradisional. Metode ini dipraktekkan pada era sepuluh atau dua puluh tahun yang lalu. Metode konvensional ini telah banyak ditinggalkan seiring perkembangan zaman, dan adopsi pada sistem pendidikan ala barat. Padahal sifat dan tabiat orang timur sangat jauh berbeda dengan tabiat siswa-siswi di negara-negara barat. Akan lebih arif apabila Indonesia masih menggunakan sistem pendidikan yang sampai sekarang dipraktekkan di Cina, Jepang, India, Malaysia, dan Negara-negara di Timur tengah. Negara-negara tersebut, meskipun mereka mendidik siswanya dengan menggunakan metode disiplin yang cukup tinggi, dan masih menggunakan hukuman fisik dalam pengajaran, namun out put yang dikeluarkan sangat bagus. Hal ini membuktikan, budaya ketimuran hanya cocok menggunakan sistem pendidikan ala ketimuran juga.
Berikut adalah cir-ciri pendidikan konvensional yang dahulu pernah diterapkan di Indonesia:
1. Cium tangan sebelum masuk dan keluar kelas. Penulis meyakini, cium tangan ini sudah mulai pudar dan tidak banyak lagi dipraktekkan di kelas. Padahal secara tidak langsung, cium tangan guru menandakan bakti dan rasa hormat kepada guru.
2. Hukuman fisik dalam batasan medidik. Penulis masih ingat, ketika duduk di bangku SD, saat itu ada tugas untuk menghafal nama-nama mentri kabinet pembangunan di era Soeharto, ketika ada yang salah dalam menyebutkan menteri, maka guru akan memberikan hukuman cubit di perut. Tetapi, cubitan itu hanya sebatas mendidik tidak untuk menganiaya, hasilnya sampai sekarang saya masih mampu menyebutkan nama-nama menteri era Soeharto. Tetapi sekarang, saya yakin hanya segelintir siswa yang mampu menghapal nama-nama menteri.
3. Guru mempunyai wewenang untuk tidak atau meluluskan siswa. Sebelum diberlakukannya UN/UAN, guru di sekolah mempunyai hak untuk meluluskan atau tidak meluluskan siswa. Faktor kelulusan ada di tangan sekolah, sehingga siswa tidak akan berani melawan guru, karena jika siswa melawan guru akan mendapat sanksi tidak lulus sekolah. Namun kondisi yang terjadi sekarang, sebejad apapun siswa di sekolah mereka akan tetap lulus, dan malah sebaliknya terkadang siswa yang rajin dan patuh dapat tidak lulus sekolah. Lebih parah lagi, sstandar kelulus UN yang begitu tinggi membuat beberapa oknum sekolah melakukan tindak kecurangan, sehingga tak ada lagi murid yang patuh kepada guru dikarenakan mereka sudah yakin akan lulus. SUNGGUH TRAGIS.
4. Orang tua dan Masyarakat memberikan kepercayaan 100% kepada sekolah dalam Mendidik murid. Ketika penulis masih duduk di bangku SD, guru memberikan hukuman untuk hormat bendera dikarenakan penulis melanggar peraturan sekolah. Sepulang sekolah penulis langsung melaporkan pada orangtua, namum bukannya orangtua membela malahan memberi hukuman tambahan dan membenarkan hukuman guru. Kejadian seperti ini mungkin sangat jarang kita jumpai, yang ada adalah ketika murid mendapat hukuman fisik, maka orang tua segera menegur guru dan kepala sekolah atau malah melaporkan kepada pihak berwajib.
Dukungan masyarakat di kala itu juga sangat tinggi; kantin sekolah misalnya, tidak akan bersedia melayani murid yang jajan pada saat jam belajar, dan tidak segan-segan melaporkan siswa yang merokok di kantin sekolah. Hari ini kita bisa melihat, malahan ada kantin di sekolah yang menjual rokok secara diam-diam.
5. Kembali pada Pendidikan Moral Pancasila (PMP). Bisa jadi penyebab rendahnya moral peserta didik akhir-akhir ini disebabakan karena mereka tidak lagi mempelajari Pendidikan Moral Pancasila. Namun sekarang dirubah menjadi PKN (Pendidikan Kewarganegaraan), nilai-nilai moral dan tata krama serta tepo seliro tidak lagi diajarkan kepada siswa.
6. Kembali pada GDN (Gerakan Disiplin Nasional). Gerakan yang dicanangkan oleh Almarhum Pak Harto sedikit banyak memberikan warna pada kedisiplinan siswa pada saat itu. Nilai-nilai nasionalisme terjunjung tinggi. Namun kondisi sekarang, rasa kedisiplinan sudah mulai surut pada jiwa pemuda Indonesia.
Mendidik seorang anak tidak selamanya harus dengan kelembutan. Karena karakter anak didik berbeda satu sama lain. Dalam hal ini ada satu majalah Islam yang memberikan contoh/logika: Dalam memegang burung jika terlalu keras burung itu akan mati, sementara jika terlalu lembut burung tersebut akan terbang. Perlu adanya pengamatan yang jeli terhadap siswa secara akurat dan kapan waktu yang tepat untuk memberaikan hukuman pada anak. Logika lain adalah mendidik anak mirip seperti seorang penggembala bebek/itik, ketika sang itik tidak mau berjalan pada jalan yang sudah diarahkan maka sang penggembala biasanya akan menggunakan kayu untuk mengarahkan sang itik.
Penyebab Degradasi Moral
Namun demikian, seorang guru tidak boleh serta merta kembali melakukan hukuman keras kepada murid. Perlu adanya analisa penyebab mengapa siswa melakukan pelanggaran norma-norma sosial. Berikut beberapa penyebab rendahnya moral siswa:
1. Tayangan Televisi dan Media lain yang terlalu bebas
Kebebasan pers dalam memberikan informasi dan fakta kepada masyarakat terkadang justru membahayakan posisi guru dan sekolah. Tidak adanya sensor tentang pemberitaan negatif tentang dunia pendidikan dan guru sangat berpengaruh pada kepercayaan wali murid kepada sekolah. Sehingga berita yang diserap, langsung diolah mentah-mentah tanpa memperhatikan fakta dan kondisi di balik berita tersebut. Selain itu tayangan-tayangan kejahatan yang sering diekspose di TV tanpa adanya sensor, membuat siswa yang sifat ingin mecobanya sangat tinggi, terpancing untuk mencoba hal-hal yang baru saja mereka tonton di TV.
2. Tidak adanya pemberian pengertian terhadap penggunaan teknologi
Kasus penghinaan murid terhadap guru melalui face book yang terjadi akhir-akhir ini, merupakan contoh lalainya guru dan orang tua dalam memberikan pengertian kepada siswa tentang penggunaan teknologi. Selain itu, penggunaan teknolgi semacam, HP, komputer dan motor/mobil dirasa dapat mengurangi jiwa sosial siswa, sehingga tidak ada lagi terjadi hubungan erat antara guru dan siswa akibat penggunaan teknologi.
3. Kondisi lingkungan dan orang tua
Lingkungan adalah faktor yang paling berpengaruh dalam memberi warna pada peserta didik. Apabila orang tua tidak berhasil memberikan pengertian kepada anak tentang bahaya pergualan yang salah di lingkungan, maka akan berakibat sangat fatal pada diri perserta didik. Pendidikan pertama sebelum siswa masuk sekolah adalah pendidikan keluarga, apabila keluarga mampu memberikan pondasi yang kuat pada anak, maka dapat diyakinkan mereka akan berhasil di kemudian hari.
Kesimpulannya adalah, memang sekali-kali guru perlu kembali kepada metode mendidik dengan cara konvensional. Namun sebelumnya, guru harus melakukan pendekatan dan menganalisa peserta didik yang akan diberi perlakuan sedikit keras. Karena seperti yang saya katakan di atas, tidak semua siswa dapat diberikan perlakuan lembut. Sebaliknya tidak semua siswa dapat menerima jika diberi perlakuan yang sedikit keras. Yang terpenting adalah bahwa guru harus mampu tampil berwibawa di depan murid, wibawa tersebut tidak bisa dibuat-buat, namun akan lahir dengan sendirinya ketika kita dapat bertugas dengan cerdas dan disiplin yang tinggi. Bravo guru Indonesia, ...... (Dari Berbagai Sumber)
*) Penulis adalah Guru Bahasa Inggris di SMA N 9 BATANG HARI dan MAS Darussalam Jangga Baru, Batang Hari
Boleh Didownload, tapi ijin dulu ya... caranua kirim aja koment di bawah ini...